Jumat, 19 Maret 2010

PULAU-PULAU KECIL, RESILIENSI DAN PERUBAHAN IKLIM (Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan)


Pulau-Pulau Kecil, Resiliensi dan Perubahan Iklim: 
Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan
Oleh : Masudin Sangaji


Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun demikian selama ini pengetahuan mengenai karateristik pulau-pulau kecil masih kurang dipahami benar oleh para pemanfaatnya.  Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan wilayah daratan atau pulau besar (mainland).  Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil.  Disinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove), dan rumput laut (sea weeds) serta beragam biota ditemukan.  Selain itu, pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Di sisi lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan (vulnaribilyti) yang cukup tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi (penenggelaman).  Sedangkan wilayah pesisir walaupun memiliki ketersediaan air yang cukup dibanding pulau kecil, namun daerah ini memiliki resiko abrasi dan intrusi air laut yang mengancam setiap saat.  Oleh karena itu, pilihan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan gabungan dari dua sisi ini.  Kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitatif) seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi air, dan sebagainya yang merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas ekstraksi justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya dan mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam.
Keseimbangan dan harmonisasi ekosistem pulau-pulau kecil akan terganggu akibat tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan yang cenderung mengabaikan batas-batas keseimbangan yang dimiliki oleh lingkungan hidup (Boughey, 1975). Pengabaian terhadap kapasitas daya dukung pulau-pulau kecil dalam mentolerir akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan dikarenakan adanya motivasi berupa penigkatan kesejahteraan umat manusia yang dilandasi pada pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh pandangan atau paradigma kornopian teknosetrisme (Turner et al., 1994;30). Melalui paradigma pembangunan ini, manusia dianggap mampu “menaklukan” alam dengan pengembangan teknologi yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam kesejahteraan manusia (Turner et al., 1994;17).
Pandangan tersebut mulai tersanggah semenjak disadari bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan pengendalian pertumbuhan populasi manusia telah menimbulkan fenomena global yang merugikan dan saling terkait (Ismawan, 1999; Pearce and Warford, 1993). Fenomena global tersebut adalah “perubahan iklim (climate change). Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut dan  berubahnya pola curah hujan serta tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia.  Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim. Perubahan iklim sendiri merupakan sebuah fenomena global karena penyebabnya bersifat global, disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia. Selain itu, dampaknya juga bersifat global, dirasakan oleh seluruh mahluk hidup di berbagai belahan dunia.
Khusus untuk pulau-pulau kecil, pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi sosial-ekologis perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan dijaga secara aktif. 
Pengembangan resiliensi di wilayah pulau-pulau kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman, pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana pulau-pulau kecil yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan kenaikan paras muka laut. 
Oleh karenanya perubahan iklim yang ditandai dengan berubahnya temperatur, presipitasi dan kenaikan air laut yang selanjutnya berpengaruh terhadap pengurangan garis pantai yang dapat mengakibatkan hilangnya pulau-pulau kecil. Dengan demikian maka di perlukan suatu solusi yang bersifat global, namun dalam bentuk aksi lokal di seluruh dunia. Untuk itu, sangat dibutuhkan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.  Dan resiliensi ekosistem merupakan konsep yang relefan bagi pengelolaan pulau-pulau kecil dalam upaya menghadapi gejala perubahan iklim (global warming).
 Perubahan iklim global dapat berdampak pada terjadinya penurunan secara kontinyu kualitas ekosistem pulau-pulau kecil, penurunan stok sumberdaya serta kemiskinan dan ketertinggalan. Penurunan kualitas ekosistem ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem utama, seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun.  Kerusakan ekosistem ini ditandai dengan makin tingginya pemanfaatan dan tingginya tekanan beban lingkungan akibat aktivitas di wilayah pesisir yang semakin meningkat.
Persoalan utama dalam pengelolaan adalah penggunaaan asumsi  respon ekosistem terhadap penggunaan sumberdaya alam oleh manusia yang bersifat linier, dapat diprediksi/dikontrol. Karena manusia dan sistem alam merupakan bagian yang terpisah sehingga juga dapat dikelola secara terpisah. 
          Daya dukung ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan terus menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya (Folke and Kautsky 1989, Naylor et al. 1998, 2000). Sistem ekologi dan sistem sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem terintegrasi (Eko-sosio sistem). Keduanya memiliki kompleksitas dan terus berubah sehingga pengelolaannya akan selalu dihadapkan pada persoalan ketidakpastian dan perubahan mendadak (Folke et al. 2002).
Pulau-pulau kecil dan ekosistemnya yang sebagian besar kawasannya adalah laut, merupakan wilayah yang selalu berada dalam keadaan dinamis serta penuh perubahan dalam siklus waktu pendek (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau kecil  sangat rentan dari berbagai perubahan gejala alam yang makin sulit diprediksi dan penuh ketidakpastian. Semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial  menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang makin tinggi (Holling 1986, Kates and Clark 1996).
Isu paling penting  berhubungan dengan perubahan iklim global yang relevan dengan pengelolaan  pesisir masa depan adalah pemanasan global (Harvey 2006).   Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya teknik menilai kerentanan serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi.  Adaptasi merupakan kemampuan sistem sosial dan ekologi yang terkait sangat erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan  masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah Resilliensi yang merupakan strategi yang mulai dikembangkan (Folke et all. 2002).
Pengembangan resilliensi eko-sosio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes and Seixas, 2005). Resiliensi adalah kapasitas keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk mengabsorbsi gangguan dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses  esensial serta menyediakan umpan balik.  Derajat kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengorganisisaikan diri secara mandiri, serta membangun kapasitas belajar dan beradaptasi (Holling 2001, Gunderson and Holling 2002, Berkes et al. 2002, Adger et al. 2005).  Pengembangan resiliensi eko-sosio sistem di negara berkembang masih sangat diabaikan (Kay 2006), sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan untuk mengkaji pengelolaan pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak (Holling, Berkes, 2007: Pers.comm).
Aksi strategis yang mengintegrasikan pemikiran dampak dari pemanasan global terhadap bencana pulau-pulau kecil dalam ICZM harus dilakukan karena akan melindungi biodiversitas, integritas ekologis, mata pencaharian, serta  menyelamatkan umat manusia (Thia Eng 2006). 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar