Minggu, 31 Januari 2010

NELAYAN SKALA KECIL DITENGAH REZIM PENGELOLAAN PERIKANAN

NELAYAN SKALA KECIL DITENGAH REZIM PENGELOLAAN PERIKANAN
(By Masudin Sangaji)

Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang jauh lebih besar daripada sumber daya alam yang ada di darat. Namun, potensi tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi antara lain karena masih kuatnya paradigma pembangunan Indonesia yang masih berorientasi di darat. Akibatnya produktivitas nelayan Indonesia hingga saat ini masih tergolong rendah. Untuk itu pengelolaan potensi perikanan yang melimpah ini hendaknya dapat dikelola dengan baik. Menyadari potensi yang dimiliki maka pemerintah telah membuat beberapa regulasi kebijakan sebagai dasar bagi pengelolaan potensi perikanan dan kelautan. Namun disadari bahwa beberapa regulasi seperti UU No.32 tahun 2004 tentang Otda, Permen No.5 Tahun 2008, tentang usaha perikanan tangkap dan UU No.27 tahun 2007, menjadi hal menarik untuk didiskusikan karena walaupun telah di implementasikan namun sejauh ini esensi dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan masih jauh dari apa yang diharapkan. Pertanyaan yang muncul adalah apa memang regulasi-regulasi tersebut belum mampu menjawab setiap persoalan ataukah system dan kewewenangan atau hak kepemilikan (property right) masyarakat nelayan belum ditempatkan pada porsi yang sebenarnya. Hal ini yang menimbulkan konflik kepentingan yang menjurus pada kerusakan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir dan lautan.
Di tengah kerisauan tentang kerusakan wilayah pesisir , maka Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 27 Tahun 2007. Apakah UU Nomor 27 Tahun 2007 ini memuat terobosan baru dan akan mendorong terciptanya tata pengaturan pesisir yang baik (good coastal governance)?. Dan salah satu ciri tata pengaturan pesisir yang baik adalah tingginya tingkat partisipasi masyarakat. Untuk itu, UU Nomor 27 Tahun 2007 telah memulainya, yakni dengan membuka ruang partisipasi masyarakat dalam siklus kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, baik perencanaan, implementasi (pemanfaatan, konservasi, mitigasi, rehabilitasi), maupun pengawasan dan pengendalian. Memang dalam undang-undang tersebut belum ditegaskan sampai level mana masyarakat dimungkinkan berpartisipasi: hanya informatif, konsultatif, kolaboratif, atau devolutif? Bila masyarakat sampai pada kewenangan untuk mengambil keputusan (devolusi), artinya masyarakat telah berdaya dan ini adalah level tertinggi dari partisipasi masyarakat.

Seiring dengan itu, hal menarik lainnya yang patut di cermati adalah pasal 10 UU Otda yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah perairan laut dalam skenario Otda. Disebutkan, bahwa daerah provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah kabupaten/Kota berwenang mengelola wilayah laut sejauh 4 mil laut. Kewenangan tersebut mencakup peraturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum. Dengan demikian, jelas bahwa implementasi Otda membawa sejumlah implikasi terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan. Untuk itu, sudah seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penetuan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Selanjutnya daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan di daerahnya itu. Dengan demikian semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal (nelayan kecil) untuk terlibat aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya.
Namun, disadari bahwa tidak semua kewenangan bisa diserahkan kepada masyarakat, begitu pula tidak semua kewenangan dapat diserahkan kepada pemerintah. Hal ini sangat bergantung pada skala, kompleksitas isu pengelolaan, dan tingkat keberdayaan masyarakat. Masyarakat biasanya efektif sebagai pengelola dalam skala desa atau kecamatan. Sedangkan dengan skala pengelolaan makin besar dan isu makin kompleks, dibutuhkan peran pemerintah. Apalagi di wilayah pesisir yang terdapat aktivitas selain perikanan, seperti transportasi, wisata bahari, dan pertambangan. Dengan demikian, ada tiga rezim pengelolaan yang dimungkinkan oleh UU Nomor 27 Tahun 2007 ini, yaitu rezim pemerintah, rezim kolaboratif, dan rezim masyarakat. Rezim pemerintah bias berlaku dalam penyusunan rencana strategis dan tingkat partisipasi masyarakat hanya sampai konsultatif. Namun, ketika memasuki perencanaan zonasi, sebaiknya diberlakukan rezim kolaboratif. Sebab, pada tahap kritis ini masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya mesti duduk bersama menentukan zonasi sesuai dengan kepentingannya. Tanpa mekanisme kolaboratif, dimungkinkan terjadinya proses marginalisasi masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana institusionalisasi partisipasi masyarakat ini? Ada banyak pilihan, salah satunya adalah dengan dibentuknya komite atau dewan partisipasi masyarakat, yang tugasnya adalah mewakili, menampung, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir. Selain terlibat aktif dalam proses perencanaan, komite ini merupakan forum untuk resolusi konflik. Adapun rezim masyarakat dinyatakan secara jelas pada Pasal 61, yang mengakui eksistensi hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Ini merupakan undang-undang pertama pasca kemerdekaan yang mengakui eksistensi hak adat. Memang dalam Undang-Udang Pokok Agraria (UUPA) 1960 juga ada pasal tentang pengakuan atas hak adat, tapi masih umum.

Adapun Pasal 16 Ayat 2 UUPA, yang menyebutkan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, secara substansi tidaklah kuat karena hanya mengatur hak pemanfaatan (withdrawal right) dan bukan hak pengelolaan (management right). Padahal pengakuan hak pengelolaan sangatlah penting sebagai bentuk devolusi pengelolaan pesisir. Di sinilah terobosan UU Nomor 27 Tahun 2007 yang dapat dijadikan dasar hukum untuk pengakuan adat di pesisir.
Namun, UU Nomor 27 Tahun 2007 juga masih mengandung pasal yang kontroversial, seperti Pasal 18, yang memberikan hak pemanfaatan perairan pesisir (HP3) kepada swasta, individu, ataupun masyarakat. HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang, serta dapat dialihkan (transferable). Ini merupakan eksperimen yang luar biasa berani. Menurut pemerintah, masyarakat dapat memperoleh HP3 sebagai bentuk perlindungan terhadap aktivitas ekonomi masyarakat di wilayah pesisir. Selama ini masyarakat sering terusir oleh aktivitas ekonomi yang dilakukan pemodal di wilayah pesisir. Tak berdayanya masyarakat terhadap kaum pemodal karena memang secara hukum tidak ada perlindungan yang efektif. UU Nomor 27 Tahun 2007 hadir untuk melakukan perlindungan tersebut. Ada semangat populis dalam pasal tersebut, meski kental pula semangat pro-pasarnya. Sehingga undang-undang tersebut lebih tepat disebut kompromistis atau pragmatis. Meski dimiliki masyarakat dan individu, HP3 tersebut bisa dialihkan sebagaimana sertifikat tanah. Bahkan HP3 dapat pula dijadikan agunan bank. Yang menjadi persoalan sebenarnya adalah pemberian HP3 kepada swasta. Pemberian HP3 kepada swasta memang menjurus pada privatisasi wilayah perairan pesisir, dan ini merupakan wujud dari semangat pro-pasar. Dan, secara teoritis, pendekatan pasar memang merupakan salah satu pendekatan dalam pengelolaan sumber daya.
Sealin itu, Peraturan menteri (Permen) no.5 Tahun 2008 tentang usaha perikanan tangkap pasal 74, mengamanatkan kluster perikanan ditetapkan berdasarkan batas koordinasi daerah penangkapan ikan. Hal menarik yang perlu dicermati dalam Permen ini adalah kegiatan penangkapan ikan dengan system kluster ini memberi hak ekslusif kepada pihak tertentu untuk mengelola kawasan tangkapan, selain itu usaha perikanan tangkap yang berbasis kluster ini menempatkan nelayan tradisional dengan para pengusaha besar dalam posisi yang setara. Penggolongan ini dinilai tidak mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap nelayan kecil yang otomatis memiliki keterbatasan baik dari segi SDM maupun armada tangkap jika dibanding dengan para pemodal besar. Kondisi ini sangat ironis dengan tujuan pembangunan sektor perikanan yang menempatkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan sebagai ukuran dalam menilai keberhasilan pembangunan di bidang perikanan. Hal ini sama seperti yang terjadi pada Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang telah digulirkan pada tahun 2008.
Dalam pengelolaan sumber daya perikanan, misalnya, dikenal adanya instrumen pasar berupa individual transferable quota (ITQ), yang selama ini dipraktekkan negara-negara Barat. Jadi, nelayan memiliki ITQ dalam jumlah tonase tertentu, dan kepemilikan kuota tersebut dapat dialihkan baik disewa maupun dijual ke pihak lain. Kelemahan pendekatan pasar tersebut adalah hasil akhir dari kepemilikan kuota yang memungkinkan terjadinya pemusatan kepemilikan kuota kepada pemodal kuat akibat proses pengalihan tersebut.
Apakah regulasi-regulasi seperti sistem kluster penangkapan (Permen No.5/2008) dan HP3 (UU No.27/2007) juga akan sama nasibnya seperti sistem kuota? Hasil akhir memang sulit ditebak, tapi mekanisme sistem kluster dan HP3 seperti itu memungkinkan terjadinya pemusatan kepemilikan pengelolaan kepada segelintir kelompok atau swasta karena kekuatan modalnya. Hal ini karena dengan mudah masyarakat atau swasta bisa mengalihkan hak kepemilikan pengelolaan kepada swasta lainnya. Pemusatan system kepemilikan kepada swasta pada gilirannya akan mereduksi nilai perairan pesisir dan laut hanya menjadi nilai ekonomi dan memupus nilai sosial yang selama ini melekat pada ciri perairan pesisir dan laut sebagai rezim sumber daya bersama (common property regime). Dan nilai-nilai sosial ini umumnya setali tiga uang dengan nilai ekologis.
Dengan demikian maka agenda ke depan harus dapat memberikan ruang partisipasi dan pengakuan hak adat menjadi sebuah terobosan baru yang positif. Untuk itu, agenda berikutnya adalah bagaimana menerjemahkan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, UU Nomor 27 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 ke dalam system pengelolaan ataupun tata aturan yang memuat beberapa hal. Pertama, memerinci bentuk dan level partisipasi masyarakat untuk sejumlah tahapan pengelolaan pesisir. Kedua, menyusun mekanisme pengakuan hak adat dan skala pengelolaannya. Ketiga, menyusun formula pengintegrasian antara pengelolaan pesisir secara formal dan pengelolaan secara adat. Keempat, menyusun program pemberdayaan bagi masyarakat sehingga memiliki kapasitas untuk terlibat dalam proses pengelolaan pesisir. Terobosan baru ini akan dapat mengembalikan jati diri masyarakat pesisir sebagai pengelola wilayahnya dan bukan hanya sebagai penerima keputusan yang dibuat pihak lain, termasuk pemerintah. Dengan menguatnya peran serta masyarakat, diharapkan good fishery governance akan tercipta, dan diharapkan sejumlah persoalan pesisir, termasuk kemiskinan dan kerusakan ekologis, pada gilirannya nanti bisa diatasi.