Sabtu, 24 Desember 2011

Tak Tahan Panas, Karang Putuskan Bunuh Diri

TEMPO.CO , Jakarta:- Ilmuwan Australia menemukan mekanisme molekuler yang menjelaskan kematian terumbu karang di seluruh dunia akibat pengubahan iklim bumi. Bukti nyatanya adalah Pemutihan koral yang merupakan peristiwa kerusakan terluas yang mempengaruhi terumbu karang di bumi. Proses pemutihan terjadi karena kenaikan suhu laut. Kenaikan suhu memicu tekanan panas yang menganggu simbiosis antara karang dan alga. Alga sebagai sumber energi karang ternyata tak kuat panas, sehingga mati atau tak layak makan bagi karang.

Ilmuwan dari ARC Center of Excellence of Coral Reef Studies dan Universitas James Cook mengungkap bahwa rangkaian sinyal molekuler yang kompleks telah menyebabkan karang dan alga bunuh diri. Mereka memutuskan mati ketika permukaan air laut mulai menghangat. Para Ilmuwan ini meneliti karang Acropora yang terdapat dari Pulau Heron. Mereka menemukan rangkain sinyal"bunuh diri" mulai kelihatan ketika suhu air laut lebih rendah tiga derajat daripada suhu normal ketika karang mulai mengalami pemutihan. Lalu terjadilah proses kulminasi dalam apoptosis atau kematian sel yang terprogram. Kondisi ini terjadi dimana organisme hidup (termasuk karang dan manusia) sengaja menghancurkan sel tubuh yang lemah atau terinfeksi. Atau pada intinya adalah bunuh diri sel atau amputasi yang didesain untuk melindungi bagian tubuh lain yang masih sehat.

"Kajian kami menyimpulkan bahwa pengendalian apoptosis sangat sulit pada karang dan alga simbiotik," jelas salah satu peneliti Tracy Ainsworth. Rangkaian kematian sel apoptosis memegang kunci dalam kehidupan sel yang kritis atau keseimbangan kematian sebelum terjadinya pemutihan karang. "Sangat jelas bahwa reaksi berantai ini merespon pengubahan harian dari suatu lingkungan dan kenaikan suhu permukaan laut," ujar Ainsworth. Maka pengaruh pengubahan lingkungan dan kenaikan suhu, jelas memberikan efek yang nyata sehingga membantah pemikiran yang beredar saat ini bahwa mereka hanya berpengaruh sedikit pada fungsi karang dan alga simbiotik. Yang sungguh paradoks adalah tim peneliti juga berhasil mengidentifikasi suatu sinyal molekuler unik. Sinyal ini mampu mendukung dan mengecilkan kematian sel yang terprogram pada karang. Artinya dia mampu membuat karang bunuh diri atau justru bertahan hidup.

Sumber : Tempo. co. NEWS.BIOSCHOLAR.COM|DIANING SARI

Kamis, 22 Desember 2011

Software Pengambilan Keputusan menggunakan Expert Choice

Bagi Anda yang memerlukan software pendukung dalam penelitian pengambilan keputusan menggunakan AHP dapat mendownload langsung di :
http://extranet.expertchoice.com
username : fall2000
password : gwu
klik pada Expert Choice Beta (11.5)
Untuk mendapatkan bahan bacaan dalam metode atau penggunaan sotware ini anda dapat download buku : Forman, Ernest H., and Selly, Mary Ann, Decision By Objectives, World Scientific Press, 2001, download dari http://mdm.gwu.edu/forman

semoga bermanfaat

Sabtu, 30 Juli 2011

Wakatobi vs Karibia dan Laut Merah

Dasar laut Wakatobi menyimpan 750 jenis coral dari 780 jenis coral yang berada di dunia. Juga menyimpan 942 jenis ikan. Kekayaan laut Waktobi ini menjadikan wilayah yang berada di Sulawesi Tenggara tersebut sebagai pusat riset internasional mengenai coral.

"Bandingkan dengan Laut Karibia yang hanya 50 jenis coral dan Laut Merah yang hanya 300 jenis coral. Tiap tahun seribu peneliti menyelam untuk meneliti.

Sabtu, 09 April 2011

Ayo Buruan Belajar

Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young. The greatest thing in life is to keep your mind young. (Henry Ford )

Ini pilihan menarik. Benar, mengambil kutipan ini adalah pilihan positif, paling tidak bagi saya pribadi. Kutipan ini juga mengajak kita untuk mengambil pilihan efektif lain. Kata kunci yang menjadikannya pilihan menarik dan efektif adalah "belajar"

Belajar bisa memberi manfaat. Kalau Anda memilih mempelajari sesuatu yang bermanfaat, maka belajar itu jadi bermanfaat. Di sini konsep bermanfaat tergantung cara pandang Anda pribadi. Bisa jadi, apa yang bermanfaat bagi ANda belum tentu bermanfaat untuk saya.

Lebih jauh dari soal bermanfaat menurut siapa, kutipan dari Uncle Henry ini menyemangati kita untuk terus berubah. Belajar mengajak pada perubahan. Ada banyak perspektif, mulai dari perubahan tingkah laku, sikap atau sekedar perubahan kognitif.

Belajar menjadikan ANda muda – dan ini saya pahami tidak dalam perspektif biologis demografis. Muda dan tua di sini saya nikmati dari kata mata psikologis emosional. Anda boleh tua secara demografis namun ketika Anda terus belajar dan menyesuaikan diri dengan situasi terbaru, maka sejatinya Anda tengah mengaktifkan EFEKTIVITAS pribadi Anda. Ketika Anda menjadi efektif , maka "ADA" nya Anda menjadi "BERMAKNA"
jadi, Ayo terus belajar – Agar awet muda dan EFEKTIF !

Senin, 21 Maret 2011

apakah karang dapat mati? Berapa umur maksimum karang?

ini adalah email dari teman tentang coral mortality,menarik untuk didiskusikan apakah karang dapat mati? dan berapa umur maksimum karang?. luangkan waktu sejenak dan simaklah artikel di bawah ini. semoga bermanfaat.

---------- Forwarded message ----------
From: Douglas Fenner
Date: Thu, Mar 17, 2011 at 2:32 PM
Subject: Re: [Coral-List] Coral Immortality
To: coral-list@coral.aoml.noaa.gov


I think the author of the original study does us a favor, showing us that
what looks like a dead reef to us, does not mean people killed it. It can
happen completely naturally. Makes sense to me, conditions can get bad
naturally- if a dry coastline with a lot of exposed soil (like a desert) started
having rain in huge rainstorms that washed off lots of mud, it could kill nearby
reefs. Long before humans were doing anything.
Gene is right, science does have fashion sometimes, something new is
discovered and if it is exciting enough, people rush to work on it, and start
interpreting everything in terms of it, and can forget that it doesn't explain
everything.
Gene makes some comments about corals perhaps dying of old age and maybe we
just happen to be around when a group of geriatric corals are naturally dying.
But my impression is that for a lot of corals, they continue to grow and have no
set specific maximum size or age. Adult human size is pretty uniform, we grow
until we reach an adult size, then stop growing. And human ages are pretty well
limited too, people don't on rare occasions just go on living to 150, 200, or
500 years old. But some corals certainly do. We recently documented a Porites
lutea in American Samoa with a girth of 41 meters (Brown et al. 2009). Far as I
know the largest girth yet documented. A Porites lobata was documented in
Taiwan that is 12 meters tall (Soong et al. 1999). That's a lot of coral. And
I know of no reports where living, healthy coral, reaches a maximum size and
stops growing. Some fish do, such as some surgeonfish (e.g., Ochavillo et al
2011). Corals seem to be more like some trees, like Redwoods. Redwoods as far
as I know have no maximum size or age, they don't stop growing, they just keep
growing until something gets them, like the soil underneath them gives way, or
strong winds blow them over, or disease kills them, etc. Vertebrates typically
have maximum sizes and stop growing. Not all species of corals get to the huge
sizes I mentioned, those are the champions, and only a few species of Porites
get to those sizes, and I'd bet Montastrea annularis complex corals in the
Carribean gets to huge sizes at times. Most individuals of those same species
are vastly smaller, and won't make it to that size. But they grow every year as
long as they live, and they die at a wide variety of ages, not at a specific
size or age. But it is also clearly true that different species of corals grow
to different typical sizes and maximum sizes. There are some small
zooxanthellate corals in the Caribbean like Favia fragum, also called "golfball
coral" due to its typical small size. Scolymia cubensis doesn't get very big
either, and Siderastrea radians is usually small. The champion small colonial
zooxanthellate coral as far as I know is Stylaraea punctata, an Indo-Pacific
coral that is often less than 1 cm diameter and a really big one might reach 2
cm..
The original geology paper that stimulated this discussion reports on
reefs near shore in the Great Barrier Reef, which live in very high sediment
environments. Like any reef, when they reach the surface, that upper surface
can no longer grow. Corals don't grow well in air. These reefs stopped growing
on their slopes as well, perhaps because of the sedimentary conditions, and some
restarted later. I work in American Samoa, on a relatively young (only 1.5
million years old) island, which has lots of fringing reefs. The reefs have
reef flats that have reached the surface, and indeed although there is coral
cover on the reef flat currently, it is not high cover, and you can see why,
when the lowest tides of the year come, corals that are exposed to air too long
in the hot sun don't survive. The reef slopes, however, are in relatively clear
water and a low sediment environment (at least outside the harbor!). Those
slopes have fairly decent coral cover (about 30% average), large and small
colonies, coral cover has not been going down in the last few years, very little
macroalgae, lots of coralline algae and what looks to this non-geologist like a
reef slope that is growing geologically as well as biologically. My guess is
that many islands and atolls around the Pacific have reefs that are growing
geologically on their slopes, but I am certainly guessing and not a qualified
geologist.
For a longer time span perspective, consider Eniwetok Atoll in the
Marshall Islands. When it was drilled, the carbonate reef rock was about 1200 m
thick, and on top of volcanic rock, fitting with Darwin's theory. The reef rock
just above the volcanic rock was about 65 million years old. The reef at the
top is at the surface, with a few islands in the atoll that stick up a couple
meters or so above the water. So, the reef there began growing 65 million years
ago, and it has kept growing enough for the top to still be at the surface, even
though if it stopped growing and didn't restart, it would have subsided until it
was deep enough not to have enough light to grow back up to the surface. The
Pacific is dotted with atolls that have done the same sort of thing, and the
Indian O. has quite a few too. So over the time span of tens of millions of
years, there are lots of reefs that have managed to "keep up." Which is not to
say they may not have stopped growing and started again several times or even
many times. But an awful lot of them must have started again after each stop or
there would be few left at the surface, I think.
On an even longer time scale, there are long periods in the geological
record in which there are no fossil reefs anywhere. Veron (2008) correlates
these with periods when water conditions were bad, primarily chemically. But
you might have to hang around for 100 million years or so to see such a hiatus.
All of which does not say that some reefs don't naturally stop growing
from time to time.
I recommend the popular article Gene's post pointed to, and the comments
posted below it, all interesting.
Cheers, Doug

Brown, D. P., Basch, L., Barshis, D., Foresman, Z., Fenner, D., Goldberg, J.
2009.American Samoa’s island of giants: massive Porites colonies at Ta’u island.
Coral Reefs 28: 735.

Soong K, Chen CA, Chang J-C (1999) A very large poritid colony at Green Island,
Taiwan. Coral Reefs 18:42

Ochavillo, D., Tofaeono, S., Sabater, M., and Trip, E.L. 2011. Population
structure of Ctenochaetus striatus (Acanthuridae) in Tutuila, American Samoa:
the use of size-at-age data in multi-scale population size surveys. Fisheries
Research 107: 14-21.

Veron, JEN. 2008. Mass extinctions and ocean acidification: biological
constraints on geological dilemmas. Coral Reefs 27: 459-472.

Douglas Fenner, Ph.D.
Coral Reef Monitoring Ecologist
Dept Marine & Wildlife Resources
American Samoa

Mailing address:
PO Box 3730
Pago Pago, AS 96799
USA
work phone 684 633 4456

Faster ice melt, higher sea levels
Ice loss on Greenland and Antarctica is accelerating at three times the rate of
mountain ice loss. If it continues, this melting will dominate sea-level rise
this century.

Eric Rignot at the University of California, Irvine, and his colleagues compared
calculations based on 18 years' worth of data on climate and ice discharge with
8 years' worth of data from the Gravity Recovery and Climate Experiment, which
uses satellite measurements to assess ice mass. The authors estimate that the
rate of loss is increasing by around 36..3 gigatonnes of ice a year, with a
cumulative loss of 475 gigatonnes in 2006.

http://www.nature.com/nature/journal/v471/n7338/full/471268b.html?WT.ec_id=NATURE-20110317

Selasa, 13 April 2010

SMALL ISLAND AND MANAGEMENT PROBLEM


PULAU-PULAU KECIL DAN KENDALA PENGELOLAANNYA
By: Masudin Sangaji

Definisi dan Batasan Pulau Kecil
          Pulau kecil menurut Beller et al., (1990) dapat didefinisikan sebagai pulau denga luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 atau kurang.  Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari 2000 Km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 Km, sedangkan defenisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 Km2 dan lebar tidak lebih dari 3 Km (Unesco, 1991).
      Secara kenyataan kita dengan sanat mudah dapat mengetahui, minimal mengenal, mana daratan yang dapat digilongkan sebagai pulau dan mana yang tidak.  Nunn (1994) dalam Adrianto (2006) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibicrakan selama berabad-abad, namun defenisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan.  Defenisi paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut.  Pemahaman yang demikian menyimpulkan bahwa seluruh daratan (termasuk kontinen/benua) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari darat dan laut.
      Pulau kecil selain memiliki luas wilayah juga memiliki kekayaan sumberdaya alam pesisir.  Pulau-pulau kecil umumnya memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah.  Sumberdaya uang paling menonjol di pulau kecil adalah sumberdaya ikan dan untuk kawasan pulau kecil sumberdaya ikan ketersediaanya cukup banyak karena hal ini didukung oleh ekosistem yang beragam dan kompleks.
      Mangrove memiliki peranan penting dalam kehidupan biota perairan disekitarnya.  Daun mangrove yang gugur di dasar perairan melalui proses penguraian mikroorganisme dirubah menjadi partikel-partikel detritus, detritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut.  Selain itu bahan organik terlarut yang dihasilkan dari proses penguraian (dekomposisi) memasuki lingkungan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam filter feeder (pemakan dengan cara menyaring) serta berbagai macam hewan pemakan hewan dasar (Snedaker et al, 1984).  Kemampuan perakaran yang kokoh untuk menahan lumpur dan melindungi dari erosi serta meredam gelombang menjadikan daerah ini sebagai daerah asuhan dan pegai pemijahan bagi beberapa hewan perairan.  Manfaat lain produk langsung maupun tidak langsung dari mangrove adalah berupa kayu bakar, bahan bangunan, alat teknik penangkapan ikan, bahan baku kertas, obat-obatan, bahan baku tekstil dan kulit, serta tempat rekreasi.
      Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dimana produktivitas primernya dapat mencapai 1 Kg C/m2/thn.  Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi bagi daerah pesisir yaitu : 1. sumber utama produktivitas primer; 2. sumber makanan bagi organisme (berupa detritus); 3. menstabilkan dasar yang lunak dengan sistem akar silang dan padat; 4. tempat berlindung organisme; 5. sebagai peredam arus dan tempat pembesaran beberapa spesies hewan misalnya udang dan ikan baronang.
      Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis, dimana umumnya hidup di perairan yang dangkal dengan penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut.  Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, binatang karang ini membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antar 25-320C.  Karena sifat hidup ini maka terumbu karang banyak dijumpai di perairan Indonesia, yang relatif banyak mendapat cahaya matahari dengan menempati areal seluas 7.500 Km2 dari luas luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Lingkungan Hidup, 1992).  Terumbu karang juga memiliki produktivitas yang tinggi yang menurut Yonge (1963) dan Soddart (1969) dalam Supriharyono (2000) umumnya produktivitas primer perairan karang berkisar antara 1.500-3.500 gr C/m2/th, namun hal ini bisa mencapai 100 kali lebih besar daripada perairan lautan tropis sekitarnya.
      Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan sebagai tempat mencari makan bagi kebanyakan ikan dan biota lainya.  Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan (termasuk hewan lainnya) di daerah terumbu karang sangat tinggi.  Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000) bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah perairan karang.  Manfaat lain ekosistem ini adalah sebagai sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budidaya, peredam gelombang, mencegah terjadinya erosi, serta sebagai bahan bangunan.
       Kawasan pesisir dan lautan termasuk pulau-pulau kecil, merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya.  Total nilai ekonomi kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word's gross natural product, yang didalamnya  termasuk estuaria, terumbu karang, paparan, rawa payau/mangrove dan padang lamun adalah sebesar US $ 14.227 triliun (Constanza et al., 1997)
      Selain potensi sumberdaya alam yang ada, pesisir dan pulau kecil juga memiliki potensi jasa lingkungan seperti pariwisata dan perhubungan laut yang bernilai ekonomi bagi peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitarnya.  Selain itu, ekosistem pesisir dan pulau kecil juga memiliki fungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi, dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan, sehingga dalam pemanfaatanya harus seimbang dengan upaya konservasi dan kelestariannya sehingga tercipta pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan. Sampai pertengahan tahun 2001, diperkirakan 70 buah pulau kecil telah tenggelam. Penyebabnya adalah ulah manusia, ketimbang akibat perubahan iklim global yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut. Umumnya, tenggelamnya pulau kecil itu disebabkan oleh pengerukan pasir di sekitar pulau
Pulau kecil lazimnya memiliki ukuran luas kurang dari 10.000 km persegi. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Jumlah penduduknya kurang dari 500.000 orang.
Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka.
Indonesia pernah menjadi a world class mining country, sebuah julukan yang membanggakan tetapi mengandung suatu ironi. Membanggakan karena pertambangan mampu memberikan sumbangan devisa yang tidak kecil bagi negara. Pertambangan juga dianggap berjasa dalam memajukan pembangunan wilayah dan 'mensejahterakan' rakyatnya. Tetapi di balik itu, pertambangan sarat dengan masalah. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak mayarakat adat, atau perusakan dan penghancuran lingkungan serta penyebab kemiskinan struktural penduduk lokal.
Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia memang menggiurkan para investor. Tidak mengherankan kalau mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengeruk keuntungan dari hasil pertambangan tanpa peduli dampak yang ditimbulkan. Bila perlu hutan dibabat, laut dibor, tanah adat dirampas, kawasan konservasi dan pulau kecil yang menjadi penyangga kehidupan pun tak luput dari serbuan para pelaku pertambangan.
Daya dukung mineral dan minyak bumi yang berlokasi di daratan dan lepas pantai semakin hari semakin berkurang, sementara jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat semakin meningkat. Oleh karena itu, permintaan barang dan jasa di masa mendatang akan terus meningkat yang semakin tidak dapat dipenuhi lagi dari hasil-hasil pendayagunaan sumberdaya daratan. Arah mata bor pertambangan kini mulai dialihkan kepada keberadaan deposit mineral yang terdapat pada permukaan bawah laut. Inilah salah satu realitas dan kecenderungan pembangunan kelautan Indonesia memasuki abad ke-21.
Adalah suatu realitas bahwa pembangunan yang tidak berlandaskan pada kekuatan-kekuatan domestik riil telah memicu pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun dibalik pertumbuhan tersebut, timbul beberapa persoalan antara lain, (a) terbentuknya struktur ekonomi yang sangat rapuh sehingga rentan terhadap gejolak-gejolak eksternal seperti yang tercermin pada krisis ekonomi yang tengah berlangsung; (b) pertumbuhan ekonomi tersebut harus dibayar dengan utang luar negeri yang sangat besar; (c) ketertinggalan taraf hidup masyarakat, terutama masyarakat pesisir di tengah ketersediaan sumber daya alam di sekitarnya. Pada gilirannya, hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial.
          Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau kecil baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil di sini adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain.
          Batasan pulau kecil juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas areanya kurang dari 10.000 km2 dan mempunyai penduduknya berjumlah kurang dari 500.000 orang (Bell, et al., 1990). Menurut Dahuri (1998), pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil juga mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka.
          Dari uraian di atas, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil: yaitu (1) batasan fisik (luas pulau); (2) batasan ekologis (proporsi species endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya.
          Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu: (1) tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran, (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (Bengen, 2000; Ongkosongo, 1998; Sugandhy, 1998).

Ekosistem, Potensi Sumberdaya dan Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil
          Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil pesisir, antara lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, dkk., 1996).
          Sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tak dapat pulih (non-renewable resources). Sumberdaya yang dapat pulih, antara lain: sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweeds, lamun atau seagrass, mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan, sumberdaya tak dapat pulih, antara lain: minyak bumi dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.
          Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur, dan mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken, 1988). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman species penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman species ini adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu, dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuri, dkk., 1996). Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari, seperti  selam, layar maupun snorkling.
          Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya, selain bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat untuk memelihara anak (ikan). Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, selain itu ekosistem mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan membuat rumah (Dahuri dkk., 1996; Bengen, 2000).
          Sumberdaya rumput laut (seaweeds) banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir perairannya dangkal, gelombangnya kecil, subur dan kaya bahan organik terutama wilayah dekat pantai dan muara sungai. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi di samping sumberdaya perikanan. Sumberdaya rumput laut ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.
          Padang lamun (seagrass) merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska, ekinodermata dan cacing. Menurut Bengen (2000), secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu: (1) produsen detritus dan zat hara; (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; (4) sebagai tudung berlindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
          Sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga masih belum optimal dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit, dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum tersentuh. Demikian juga halnya dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
          Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut, merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan pariwisata.
          Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan ekonomi tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan (Dahuri, 1998).  Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.
          Menurut Dahuri (1998), ekosistem pulau-pulau kecil memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (1) pengatur iklim global; (2) siklus hidrologi dan biogeokimia; (3) penyerap limbah; (4) sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Selain fungsi ekologis, pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi bagi manusia, antara lain menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa pemanfaatan lingkungan alam yang indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan pariwisata laut, kegiatan budidaya (ikan, udang, rumput laut) yang dapat bermanfaat bagi peningkatan pendapatan atau mata pencaharian penduduk setempat, serta potensi sumberdaya hayati  yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dan bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang kesemuanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Kendala-kendala Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
          Menurut Dahuri (1998); Husni (1998), beberapa kendala yang dihadapi untuk pembangunan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1.    Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi sangat langka.
2.    Kesulitan atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi laut turut menghambat pembangunan.
3.   Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir (coastal ecosystem) dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya.
4.  Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) adalah saling terkait satu sama lain.
5.    Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.

Jumat, 19 Maret 2010

PULAU-PULAU KECIL, RESILIENSI DAN PERUBAHAN IKLIM (Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan)


Pulau-Pulau Kecil, Resiliensi dan Perubahan Iklim: 
Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan
Oleh : Masudin Sangaji


Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun demikian selama ini pengetahuan mengenai karateristik pulau-pulau kecil masih kurang dipahami benar oleh para pemanfaatnya.  Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan wilayah daratan atau pulau besar (mainland).  Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil.  Disinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove), dan rumput laut (sea weeds) serta beragam biota ditemukan.  Selain itu, pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Di sisi lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan (vulnaribilyti) yang cukup tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi (penenggelaman).  Sedangkan wilayah pesisir walaupun memiliki ketersediaan air yang cukup dibanding pulau kecil, namun daerah ini memiliki resiko abrasi dan intrusi air laut yang mengancam setiap saat.  Oleh karena itu, pilihan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan gabungan dari dua sisi ini.  Kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitatif) seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi air, dan sebagainya yang merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas ekstraksi justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya dan mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam.
Keseimbangan dan harmonisasi ekosistem pulau-pulau kecil akan terganggu akibat tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan yang cenderung mengabaikan batas-batas keseimbangan yang dimiliki oleh lingkungan hidup (Boughey, 1975). Pengabaian terhadap kapasitas daya dukung pulau-pulau kecil dalam mentolerir akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan dikarenakan adanya motivasi berupa penigkatan kesejahteraan umat manusia yang dilandasi pada pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh pandangan atau paradigma kornopian teknosetrisme (Turner et al., 1994;30). Melalui paradigma pembangunan ini, manusia dianggap mampu “menaklukan” alam dengan pengembangan teknologi yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam kesejahteraan manusia (Turner et al., 1994;17).
Pandangan tersebut mulai tersanggah semenjak disadari bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan pengendalian pertumbuhan populasi manusia telah menimbulkan fenomena global yang merugikan dan saling terkait (Ismawan, 1999; Pearce and Warford, 1993). Fenomena global tersebut adalah “perubahan iklim (climate change). Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut dan  berubahnya pola curah hujan serta tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia.  Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim. Perubahan iklim sendiri merupakan sebuah fenomena global karena penyebabnya bersifat global, disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia. Selain itu, dampaknya juga bersifat global, dirasakan oleh seluruh mahluk hidup di berbagai belahan dunia.
Khusus untuk pulau-pulau kecil, pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi sosial-ekologis perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan dijaga secara aktif. 
Pengembangan resiliensi di wilayah pulau-pulau kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman, pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana pulau-pulau kecil yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan kenaikan paras muka laut. 
Oleh karenanya perubahan iklim yang ditandai dengan berubahnya temperatur, presipitasi dan kenaikan air laut yang selanjutnya berpengaruh terhadap pengurangan garis pantai yang dapat mengakibatkan hilangnya pulau-pulau kecil. Dengan demikian maka di perlukan suatu solusi yang bersifat global, namun dalam bentuk aksi lokal di seluruh dunia. Untuk itu, sangat dibutuhkan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.  Dan resiliensi ekosistem merupakan konsep yang relefan bagi pengelolaan pulau-pulau kecil dalam upaya menghadapi gejala perubahan iklim (global warming).
 Perubahan iklim global dapat berdampak pada terjadinya penurunan secara kontinyu kualitas ekosistem pulau-pulau kecil, penurunan stok sumberdaya serta kemiskinan dan ketertinggalan. Penurunan kualitas ekosistem ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem utama, seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun.  Kerusakan ekosistem ini ditandai dengan makin tingginya pemanfaatan dan tingginya tekanan beban lingkungan akibat aktivitas di wilayah pesisir yang semakin meningkat.
Persoalan utama dalam pengelolaan adalah penggunaaan asumsi  respon ekosistem terhadap penggunaan sumberdaya alam oleh manusia yang bersifat linier, dapat diprediksi/dikontrol. Karena manusia dan sistem alam merupakan bagian yang terpisah sehingga juga dapat dikelola secara terpisah. 
          Daya dukung ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan terus menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya (Folke and Kautsky 1989, Naylor et al. 1998, 2000). Sistem ekologi dan sistem sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem terintegrasi (Eko-sosio sistem). Keduanya memiliki kompleksitas dan terus berubah sehingga pengelolaannya akan selalu dihadapkan pada persoalan ketidakpastian dan perubahan mendadak (Folke et al. 2002).
Pulau-pulau kecil dan ekosistemnya yang sebagian besar kawasannya adalah laut, merupakan wilayah yang selalu berada dalam keadaan dinamis serta penuh perubahan dalam siklus waktu pendek (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau kecil  sangat rentan dari berbagai perubahan gejala alam yang makin sulit diprediksi dan penuh ketidakpastian. Semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial  menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang makin tinggi (Holling 1986, Kates and Clark 1996).
Isu paling penting  berhubungan dengan perubahan iklim global yang relevan dengan pengelolaan  pesisir masa depan adalah pemanasan global (Harvey 2006).   Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya teknik menilai kerentanan serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi.  Adaptasi merupakan kemampuan sistem sosial dan ekologi yang terkait sangat erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan  masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah Resilliensi yang merupakan strategi yang mulai dikembangkan (Folke et all. 2002).
Pengembangan resilliensi eko-sosio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes and Seixas, 2005). Resiliensi adalah kapasitas keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk mengabsorbsi gangguan dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses  esensial serta menyediakan umpan balik.  Derajat kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengorganisisaikan diri secara mandiri, serta membangun kapasitas belajar dan beradaptasi (Holling 2001, Gunderson and Holling 2002, Berkes et al. 2002, Adger et al. 2005).  Pengembangan resiliensi eko-sosio sistem di negara berkembang masih sangat diabaikan (Kay 2006), sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan untuk mengkaji pengelolaan pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak (Holling, Berkes, 2007: Pers.comm).
Aksi strategis yang mengintegrasikan pemikiran dampak dari pemanasan global terhadap bencana pulau-pulau kecil dalam ICZM harus dilakukan karena akan melindungi biodiversitas, integritas ekologis, mata pencaharian, serta  menyelamatkan umat manusia (Thia Eng 2006).