Selasa, 13 April 2010

SMALL ISLAND AND MANAGEMENT PROBLEM


PULAU-PULAU KECIL DAN KENDALA PENGELOLAANNYA
By: Masudin Sangaji

Definisi dan Batasan Pulau Kecil
          Pulau kecil menurut Beller et al., (1990) dapat didefinisikan sebagai pulau denga luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 atau kurang.  Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari 2000 Km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 Km, sedangkan defenisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 Km2 dan lebar tidak lebih dari 3 Km (Unesco, 1991).
      Secara kenyataan kita dengan sanat mudah dapat mengetahui, minimal mengenal, mana daratan yang dapat digilongkan sebagai pulau dan mana yang tidak.  Nunn (1994) dalam Adrianto (2006) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibicrakan selama berabad-abad, namun defenisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan.  Defenisi paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut.  Pemahaman yang demikian menyimpulkan bahwa seluruh daratan (termasuk kontinen/benua) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari darat dan laut.
      Pulau kecil selain memiliki luas wilayah juga memiliki kekayaan sumberdaya alam pesisir.  Pulau-pulau kecil umumnya memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah.  Sumberdaya uang paling menonjol di pulau kecil adalah sumberdaya ikan dan untuk kawasan pulau kecil sumberdaya ikan ketersediaanya cukup banyak karena hal ini didukung oleh ekosistem yang beragam dan kompleks.
      Mangrove memiliki peranan penting dalam kehidupan biota perairan disekitarnya.  Daun mangrove yang gugur di dasar perairan melalui proses penguraian mikroorganisme dirubah menjadi partikel-partikel detritus, detritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut.  Selain itu bahan organik terlarut yang dihasilkan dari proses penguraian (dekomposisi) memasuki lingkungan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam filter feeder (pemakan dengan cara menyaring) serta berbagai macam hewan pemakan hewan dasar (Snedaker et al, 1984).  Kemampuan perakaran yang kokoh untuk menahan lumpur dan melindungi dari erosi serta meredam gelombang menjadikan daerah ini sebagai daerah asuhan dan pegai pemijahan bagi beberapa hewan perairan.  Manfaat lain produk langsung maupun tidak langsung dari mangrove adalah berupa kayu bakar, bahan bangunan, alat teknik penangkapan ikan, bahan baku kertas, obat-obatan, bahan baku tekstil dan kulit, serta tempat rekreasi.
      Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dimana produktivitas primernya dapat mencapai 1 Kg C/m2/thn.  Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi bagi daerah pesisir yaitu : 1. sumber utama produktivitas primer; 2. sumber makanan bagi organisme (berupa detritus); 3. menstabilkan dasar yang lunak dengan sistem akar silang dan padat; 4. tempat berlindung organisme; 5. sebagai peredam arus dan tempat pembesaran beberapa spesies hewan misalnya udang dan ikan baronang.
      Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis, dimana umumnya hidup di perairan yang dangkal dengan penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut.  Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, binatang karang ini membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antar 25-320C.  Karena sifat hidup ini maka terumbu karang banyak dijumpai di perairan Indonesia, yang relatif banyak mendapat cahaya matahari dengan menempati areal seluas 7.500 Km2 dari luas luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Lingkungan Hidup, 1992).  Terumbu karang juga memiliki produktivitas yang tinggi yang menurut Yonge (1963) dan Soddart (1969) dalam Supriharyono (2000) umumnya produktivitas primer perairan karang berkisar antara 1.500-3.500 gr C/m2/th, namun hal ini bisa mencapai 100 kali lebih besar daripada perairan lautan tropis sekitarnya.
      Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan sebagai tempat mencari makan bagi kebanyakan ikan dan biota lainya.  Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan (termasuk hewan lainnya) di daerah terumbu karang sangat tinggi.  Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000) bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah perairan karang.  Manfaat lain ekosistem ini adalah sebagai sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budidaya, peredam gelombang, mencegah terjadinya erosi, serta sebagai bahan bangunan.
       Kawasan pesisir dan lautan termasuk pulau-pulau kecil, merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya.  Total nilai ekonomi kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word's gross natural product, yang didalamnya  termasuk estuaria, terumbu karang, paparan, rawa payau/mangrove dan padang lamun adalah sebesar US $ 14.227 triliun (Constanza et al., 1997)
      Selain potensi sumberdaya alam yang ada, pesisir dan pulau kecil juga memiliki potensi jasa lingkungan seperti pariwisata dan perhubungan laut yang bernilai ekonomi bagi peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitarnya.  Selain itu, ekosistem pesisir dan pulau kecil juga memiliki fungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi, dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan, sehingga dalam pemanfaatanya harus seimbang dengan upaya konservasi dan kelestariannya sehingga tercipta pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan. Sampai pertengahan tahun 2001, diperkirakan 70 buah pulau kecil telah tenggelam. Penyebabnya adalah ulah manusia, ketimbang akibat perubahan iklim global yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut. Umumnya, tenggelamnya pulau kecil itu disebabkan oleh pengerukan pasir di sekitar pulau
Pulau kecil lazimnya memiliki ukuran luas kurang dari 10.000 km persegi. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Jumlah penduduknya kurang dari 500.000 orang.
Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka.
Indonesia pernah menjadi a world class mining country, sebuah julukan yang membanggakan tetapi mengandung suatu ironi. Membanggakan karena pertambangan mampu memberikan sumbangan devisa yang tidak kecil bagi negara. Pertambangan juga dianggap berjasa dalam memajukan pembangunan wilayah dan 'mensejahterakan' rakyatnya. Tetapi di balik itu, pertambangan sarat dengan masalah. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak mayarakat adat, atau perusakan dan penghancuran lingkungan serta penyebab kemiskinan struktural penduduk lokal.
Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia memang menggiurkan para investor. Tidak mengherankan kalau mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengeruk keuntungan dari hasil pertambangan tanpa peduli dampak yang ditimbulkan. Bila perlu hutan dibabat, laut dibor, tanah adat dirampas, kawasan konservasi dan pulau kecil yang menjadi penyangga kehidupan pun tak luput dari serbuan para pelaku pertambangan.
Daya dukung mineral dan minyak bumi yang berlokasi di daratan dan lepas pantai semakin hari semakin berkurang, sementara jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat semakin meningkat. Oleh karena itu, permintaan barang dan jasa di masa mendatang akan terus meningkat yang semakin tidak dapat dipenuhi lagi dari hasil-hasil pendayagunaan sumberdaya daratan. Arah mata bor pertambangan kini mulai dialihkan kepada keberadaan deposit mineral yang terdapat pada permukaan bawah laut. Inilah salah satu realitas dan kecenderungan pembangunan kelautan Indonesia memasuki abad ke-21.
Adalah suatu realitas bahwa pembangunan yang tidak berlandaskan pada kekuatan-kekuatan domestik riil telah memicu pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun dibalik pertumbuhan tersebut, timbul beberapa persoalan antara lain, (a) terbentuknya struktur ekonomi yang sangat rapuh sehingga rentan terhadap gejolak-gejolak eksternal seperti yang tercermin pada krisis ekonomi yang tengah berlangsung; (b) pertumbuhan ekonomi tersebut harus dibayar dengan utang luar negeri yang sangat besar; (c) ketertinggalan taraf hidup masyarakat, terutama masyarakat pesisir di tengah ketersediaan sumber daya alam di sekitarnya. Pada gilirannya, hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial.
          Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau kecil baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil di sini adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain.
          Batasan pulau kecil juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas areanya kurang dari 10.000 km2 dan mempunyai penduduknya berjumlah kurang dari 500.000 orang (Bell, et al., 1990). Menurut Dahuri (1998), pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil juga mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka.
          Dari uraian di atas, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil: yaitu (1) batasan fisik (luas pulau); (2) batasan ekologis (proporsi species endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya.
          Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu: (1) tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran, (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (Bengen, 2000; Ongkosongo, 1998; Sugandhy, 1998).

Ekosistem, Potensi Sumberdaya dan Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil
          Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil pesisir, antara lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, dkk., 1996).
          Sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tak dapat pulih (non-renewable resources). Sumberdaya yang dapat pulih, antara lain: sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweeds, lamun atau seagrass, mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan, sumberdaya tak dapat pulih, antara lain: minyak bumi dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.
          Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur, dan mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken, 1988). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman species penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman species ini adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu, dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuri, dkk., 1996). Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari, seperti  selam, layar maupun snorkling.
          Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya, selain bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat untuk memelihara anak (ikan). Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, selain itu ekosistem mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan membuat rumah (Dahuri dkk., 1996; Bengen, 2000).
          Sumberdaya rumput laut (seaweeds) banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir perairannya dangkal, gelombangnya kecil, subur dan kaya bahan organik terutama wilayah dekat pantai dan muara sungai. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi di samping sumberdaya perikanan. Sumberdaya rumput laut ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.
          Padang lamun (seagrass) merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska, ekinodermata dan cacing. Menurut Bengen (2000), secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu: (1) produsen detritus dan zat hara; (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; (4) sebagai tudung berlindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
          Sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga masih belum optimal dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit, dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum tersentuh. Demikian juga halnya dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
          Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut, merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan pariwisata.
          Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan ekonomi tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan (Dahuri, 1998).  Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.
          Menurut Dahuri (1998), ekosistem pulau-pulau kecil memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (1) pengatur iklim global; (2) siklus hidrologi dan biogeokimia; (3) penyerap limbah; (4) sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Selain fungsi ekologis, pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi bagi manusia, antara lain menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa pemanfaatan lingkungan alam yang indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan pariwisata laut, kegiatan budidaya (ikan, udang, rumput laut) yang dapat bermanfaat bagi peningkatan pendapatan atau mata pencaharian penduduk setempat, serta potensi sumberdaya hayati  yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dan bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang kesemuanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Kendala-kendala Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
          Menurut Dahuri (1998); Husni (1998), beberapa kendala yang dihadapi untuk pembangunan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1.    Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi sangat langka.
2.    Kesulitan atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi laut turut menghambat pembangunan.
3.   Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir (coastal ecosystem) dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya.
4.  Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) adalah saling terkait satu sama lain.
5.    Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.

Jumat, 19 Maret 2010

PULAU-PULAU KECIL, RESILIENSI DAN PERUBAHAN IKLIM (Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan)


Pulau-Pulau Kecil, Resiliensi dan Perubahan Iklim: 
Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan
Oleh : Masudin Sangaji


Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun demikian selama ini pengetahuan mengenai karateristik pulau-pulau kecil masih kurang dipahami benar oleh para pemanfaatnya.  Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan wilayah daratan atau pulau besar (mainland).  Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil.  Disinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove), dan rumput laut (sea weeds) serta beragam biota ditemukan.  Selain itu, pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Di sisi lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan (vulnaribilyti) yang cukup tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi (penenggelaman).  Sedangkan wilayah pesisir walaupun memiliki ketersediaan air yang cukup dibanding pulau kecil, namun daerah ini memiliki resiko abrasi dan intrusi air laut yang mengancam setiap saat.  Oleh karena itu, pilihan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan gabungan dari dua sisi ini.  Kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitatif) seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi air, dan sebagainya yang merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas ekstraksi justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya dan mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam.
Keseimbangan dan harmonisasi ekosistem pulau-pulau kecil akan terganggu akibat tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan yang cenderung mengabaikan batas-batas keseimbangan yang dimiliki oleh lingkungan hidup (Boughey, 1975). Pengabaian terhadap kapasitas daya dukung pulau-pulau kecil dalam mentolerir akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan dikarenakan adanya motivasi berupa penigkatan kesejahteraan umat manusia yang dilandasi pada pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh pandangan atau paradigma kornopian teknosetrisme (Turner et al., 1994;30). Melalui paradigma pembangunan ini, manusia dianggap mampu “menaklukan” alam dengan pengembangan teknologi yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam kesejahteraan manusia (Turner et al., 1994;17).
Pandangan tersebut mulai tersanggah semenjak disadari bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan pengendalian pertumbuhan populasi manusia telah menimbulkan fenomena global yang merugikan dan saling terkait (Ismawan, 1999; Pearce and Warford, 1993). Fenomena global tersebut adalah “perubahan iklim (climate change). Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut dan  berubahnya pola curah hujan serta tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia.  Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim. Perubahan iklim sendiri merupakan sebuah fenomena global karena penyebabnya bersifat global, disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia. Selain itu, dampaknya juga bersifat global, dirasakan oleh seluruh mahluk hidup di berbagai belahan dunia.
Khusus untuk pulau-pulau kecil, pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi sosial-ekologis perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan dijaga secara aktif. 
Pengembangan resiliensi di wilayah pulau-pulau kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman, pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana pulau-pulau kecil yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan kenaikan paras muka laut. 
Oleh karenanya perubahan iklim yang ditandai dengan berubahnya temperatur, presipitasi dan kenaikan air laut yang selanjutnya berpengaruh terhadap pengurangan garis pantai yang dapat mengakibatkan hilangnya pulau-pulau kecil. Dengan demikian maka di perlukan suatu solusi yang bersifat global, namun dalam bentuk aksi lokal di seluruh dunia. Untuk itu, sangat dibutuhkan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.  Dan resiliensi ekosistem merupakan konsep yang relefan bagi pengelolaan pulau-pulau kecil dalam upaya menghadapi gejala perubahan iklim (global warming).
 Perubahan iklim global dapat berdampak pada terjadinya penurunan secara kontinyu kualitas ekosistem pulau-pulau kecil, penurunan stok sumberdaya serta kemiskinan dan ketertinggalan. Penurunan kualitas ekosistem ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem utama, seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun.  Kerusakan ekosistem ini ditandai dengan makin tingginya pemanfaatan dan tingginya tekanan beban lingkungan akibat aktivitas di wilayah pesisir yang semakin meningkat.
Persoalan utama dalam pengelolaan adalah penggunaaan asumsi  respon ekosistem terhadap penggunaan sumberdaya alam oleh manusia yang bersifat linier, dapat diprediksi/dikontrol. Karena manusia dan sistem alam merupakan bagian yang terpisah sehingga juga dapat dikelola secara terpisah. 
          Daya dukung ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan terus menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya (Folke and Kautsky 1989, Naylor et al. 1998, 2000). Sistem ekologi dan sistem sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem terintegrasi (Eko-sosio sistem). Keduanya memiliki kompleksitas dan terus berubah sehingga pengelolaannya akan selalu dihadapkan pada persoalan ketidakpastian dan perubahan mendadak (Folke et al. 2002).
Pulau-pulau kecil dan ekosistemnya yang sebagian besar kawasannya adalah laut, merupakan wilayah yang selalu berada dalam keadaan dinamis serta penuh perubahan dalam siklus waktu pendek (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau kecil  sangat rentan dari berbagai perubahan gejala alam yang makin sulit diprediksi dan penuh ketidakpastian. Semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial  menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang makin tinggi (Holling 1986, Kates and Clark 1996).
Isu paling penting  berhubungan dengan perubahan iklim global yang relevan dengan pengelolaan  pesisir masa depan adalah pemanasan global (Harvey 2006).   Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya teknik menilai kerentanan serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi.  Adaptasi merupakan kemampuan sistem sosial dan ekologi yang terkait sangat erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan  masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah Resilliensi yang merupakan strategi yang mulai dikembangkan (Folke et all. 2002).
Pengembangan resilliensi eko-sosio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes and Seixas, 2005). Resiliensi adalah kapasitas keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk mengabsorbsi gangguan dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses  esensial serta menyediakan umpan balik.  Derajat kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengorganisisaikan diri secara mandiri, serta membangun kapasitas belajar dan beradaptasi (Holling 2001, Gunderson and Holling 2002, Berkes et al. 2002, Adger et al. 2005).  Pengembangan resiliensi eko-sosio sistem di negara berkembang masih sangat diabaikan (Kay 2006), sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan untuk mengkaji pengelolaan pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak (Holling, Berkes, 2007: Pers.comm).
Aksi strategis yang mengintegrasikan pemikiran dampak dari pemanasan global terhadap bencana pulau-pulau kecil dalam ICZM harus dilakukan karena akan melindungi biodiversitas, integritas ekologis, mata pencaharian, serta  menyelamatkan umat manusia (Thia Eng 2006). 



Selasa, 16 Maret 2010

Keterbatasan Beberapa Model Optimasi Sumberdaya Perikanan

Oleh : Masudin Sangaji/NRP.C262080071

A.Pendahuluan
Model bioekonomi menghadirkan kombinasi antara aspek biologi dan model ekonomi yang diaplikasikan pada bidang perikanan. Istilah bioekonomi diperkenalkan pertama kali oleh TI Baranoff, seorang teoretikus biologi laut asal Rusia, yang menamakan karya ilmiahnya dengan istilah bionomics atau bioeconomics meskipun dalam karya tersebut tidak banyak banyak disinggung tentang faktor-faktor ekonomi. Selanjutnya Scot Gordon merupakan pionir dalam pengembangan bioekonomi, dia adalah seorang ahli ekonomi dari Kanada. Gordon yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal, dengan menggunakan basis biologi yang diperkenalkan oleh Schaefer yaitu konsep Maximum Sustainable Yield (MSY). Selanjutnya istilah bioekonomi secara intensif dipergunakan oleh Collin Clark dan Gordon Munro.
Dalam bioekonomi perikanan, model dasarnya menggunakan teori dan konsep biologi yang selanjutnya dipadukan dengan konsep ekonomi. Konsep bioekonomi perikanan dikembangkan karena ada kekhawatiran terjadinya the tragedy of the common atau tragedy kebersamaan pada sumberdaya perikanan. Apabila suatu sumberdaya menjadi miliki bersama atau tidak jelas pemilikannya, dimana setiap pihak secara bebas dapat mengaksesnya maka eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut tidak dapat dikendalikan yang berujung pada over eksploitasi. Jika pemanfaatan sumberdaya perikanan melebihi kemampuan daya pulih sumberdaya (regenerasi stok), maka stok sumberdaya ikan akan mengalami penurunanan menuju kepda kepunahan. Oleh karena itu dikembangkan pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY). Pada level MSY maka pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak menganggu kelestarian sumberdaya , dimana jumlah hasil tangkapan berada pada batasan surplus produksi.

B.Konsep Optimasi Sumberdaya Perikanan
Diskusi tentang optimasi pengelolaan sumberdaya perikanan pada prinsipnya merupakan kajian terhadap konsep tingkat penangkapan optimum. Sejauh ini, perkembangan pengertian atas konsep ‘tingkat penangkapan optimum’ dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah melewati tiga tahapan (Cunningham, 1985; Copes, 1981; Christy, 1973):
1.Tahap pertama, dimana kegiatan penangkapan stok perikanan diarahkan pada pencapaian tingkat produksi lestari tertinggi (maximum sustainable yield, MSY). Pendekatan dalam konsep ini didasarkan sepenuhnya pada variabel dan parameter biologis.
2.Tahap kedua, dimana arah kegiatan penangkapan dititik-beratkan bukan pada pencapaian tingkat produksi tertinggi, melainkan pada tingkat produksi lestari yang memberikan efisiensi tertinggi (maximum economic yield, MEY). Dengan demikian, selain mempertimbangkan variabel dan parameter biologi, konsep ini juga memasukkan variabel dan parameter ekonomi.
3.Tahap ketiga, dimana kegiatan penangkapan diarahkan pada pencapaian produksi lestari yang memberikan nilai sosial tertinggi (socially optimum yield, OSY). Konsep ini didasarkan pada pendapat kritikus terhadap konsep MEY (mis. Charles, 1994), bahwa pertimbangan dalam penentuan tingkat penangkapan optimal seharusnya tidak terbatas pada variabel ekonomis dan biologis saja, melainkan harus mencakup segenap aspek yang terkait. Di antara aspek-aspek terkait tersebut adalah aspek sosial (Healey, 1984), politik (Beddington and Rettig, 1983), budaya (Charles, 1994). Sebagian sosiolog (mis. Christy, 1973) bahkan memasukkan aspek yang tampak tidak ada hubungannya dengan perikanan semisal nasionalisme.
Berdasarkan tahapa-tahapan tersebut maka dikembangkan beberapa konsep optimasi sumberdaya perikaanan dan ekosistemnya, seperti;

Optimum biologi
Konsep biologi merupakan yang pertama memberikan interpretasi terhadap istilah tangkap optimum (Schaefer, 1954). Menurut konsep ini, penentuan nilai optimum dilakukan berdasar model pertumbuhan populasi alami (natural population growth model). Model ini didasarkan atas teori yang menyatakan keterkaitan antara tingkat kepadatan dengan tingkat pertumbuhan populasi ikan. Implikasi lanjut dari teori tersebut adalah bahwa aktivitas penangkapan konstan sebesar laju pertumbuhan tertentu akan menyebabkan bertahannya populasi pada tingkat kepadatan tertentu pula.
Keterbatasan ketersediaan makanan dan ruang menyebabkan pertumbuhan populasi akan menurun sejalan dengan kenaikan kepadatan populasi. Oleh karena itu, hubungan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat kepadatan pupulasi biasanya digambarkan dengan kurva berbentuk genta. Puncak dari kurva itu menunjukkan pertumbuhan maksimum dari populasi ikan, dan nilai itulah tingkat pemanenan tertinggi yang diperbolehkan atas stok ikan yang bersangkutan (MSY). Tampak di sini bahwa sasaran optimalisasi menurut konsep MSY adalah tujuan biologis, yaitu pencapaian produksi tertinggi berdasarkan kapasitas sumberdayanya.

Optimum ekonomi
Konsep optimum berikutnya dikembangkan kemudian oleh para ekonom, dengan mengedepankan paradigma baru, yaitu efisiensi. Dalam hal ini, model pertumbuhan populasi alami diperbaiki dengan pencantuman variabel dan parameter ekonomi, sehingga besarnya laba bersih dari setiap tingkat penangkapan tertentu dapat ditentukan. Parameter biaya perlu dicantumkan dengan pertimbangan bahwa realisasi potensi produksi dari suatu populasi tidak terlepas dari penyertaan input sampai tingkat tertentu.. Dari model ini, dapat ditentukan tingkat panen yang memberikan laba bersih tertinggi, yang disebut sebagai maximum economic yield (MEY). Pada masa itu, para ekonom meyakini bahwa MEY itulah konsep optimum yang sesungguhnya (Healey, 1984).

Optimum sosial
Perkembangan kompleksitas masalah dalam manajemen perikanan mendorong pemikiran baru untuk merumuskan konsep panen optimum yang lebih baik. Konsep lama, yang terbukti cukup mampu untuk menjawab persoalan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan selama bertahun-tahun, dirasa tidak mampu lagi menjawab persoalan baru yang muncull beberapa waktu kemudian. Bahkan, terbukti bahwa asumsi-asumsi yang dipergunakan pada konsep yang lama sangat berpotensi untuk menghancurkan kelangsungan sumberdaya perikanan. Sebagaimana dikemukanan oleh para ahli ilmu sosial, e.g., Crutchfield (1975), Roedel (1975), dan Healey (1984), konsep MEY terbukti tidak cukup fleksibel untuk menghadapi perkembangan kompleksitas masalah tersebut. Kelemahan konsep MEY pun diakui oleh beberapa pendukungnya, misalnya Christy (1977).
Secara lebih spesifik, Healey (1984) mengatakan bahwa optimum yield seharusnya tidak hanya memasukkan variabel-variabel ekonomi yang terkait langsung dengan produksi (biaya ekploitasi, nilai penjualan, dan tingkat suku bunga), melainkan harus pula merangkum variabel-variabel tak langsung seperti misalnya nilai konservasi, nilai sosial, dsb. Sebetulnya, sepanjang tersedia teknik yang dapat digunakan untuk mengukur nilai ekonomis dari variabel-variabel tak langsung tersebut, konsep MEY telah cukup memadai (Copes, 1981). Masalahnya, penentuan nilai ekonomis dari variabel-variabel yang sebenarnya relevan dengan manajemen suatu sumberdaya perikanan sering tidak mudah. Sebagai contoh, Pollnac & Littlefield (in Healey, 1984) menunjuk suatu variabel berupa manfaat psikis yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan.
Contoh lain dari variabel penting yang sulit untuk dikuantifikasikan adalah ‘etika’, sebagaimana didiskusikan dalam Sears (1965). Diskusi tentang etika secara umum menyimpulkan bahwa harus ada keseimbangan dalam menyikapi keberadaan sumberdaya alam. Rees (1990), misalnya, mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya oleh manusia tidak boleh mengorbankan tatanan alam; misalnya., pembangunan yang ditujukan untuk manfaat-manfaat yang bersifat ekonomis harus menghindari penurunan keindahan alam. Di sisi lain, literature lain (e.g., WECD, 1987 and Brown, 1995) mengingatkan pentingnya eksistensi manusia dalam mengusahakan pelestarian alam. Sebuah pesan penting yang harus kita perhatikan adalah bahwa tidak pada tempatnya untuk memaksa sekelompok masyarakat miskin meninggalkan kegiatan pemanenan suatu sumberdaya atas nama sebuah manfaat tertentu, semisal eksistensi sumberdaya tersebut, yang hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orangkaya dari kota. Kontroversi tentang ‘keseimbangan’ bisa berlangsung selamanya karena sebagaimana dikatakan oleh Cunningham (1985) nilai optimum sebenarnya bergantung pada siapa yang sedang mencoba mengoptimalkan.
Untuk mengakomodasikan aspek-aspek / variabel yang tidak tercakup dalam konsep MEY, Healey (1984) memperkenalkan sebuah pendekatan yang dinamakan analisis multiatribut. Pendekatan ini dikembangkan dengan memandang manfaat maksimum suatu sumberdaya dengan kepuasan tertinggi yang didapat oleh para penggunanya. Kepuasan tersebut digambarkan sebagai akumulasi dari berbagai komponen manfaat (atau disebut sebagai atribut) yang dirasa oleh pengguna dari eksploitasi sumberdaya, misalnya manfaat eknonomi, manfaat sosial, dsb. Tegasnya, konsep ini menyerahkan penilaian subjektif atas komponen-komponen manfaat tersebut kepada pengguna. Kepada pengguna, diberikan keleluasaan untuk memilih suatu tingkat eksploitasi yang terbaik menurut pandangan mereka dengan catatan bahwa pilihan tersebut tidak boleh melebihi kapasitas yang dimiliki oleh sumberdaya tersebut. Tingkat eksploitasi terpilih tersebut kemudian dinamakan OSY (Socially Optimum Yield).

C.Kelemahan/Keterbatasan Utama Model Optimasi
Atas dasar pandangan dan konsep bioekonomi perikanan diatas, maka model optimasi bioekonomi spasial, model optimasi budidaya perikanan, dan model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan, relevan dilakukan. Namun model-model optimasi tersebut dalam prakteknya terbatas pada asumsi-asumsi tertentu yang merupakan kelemahan dari model optimasi tersebut. Masing-masing model optimasi tersebut memiliki tiga kelemahan utama, kelemahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Kelemahan Utama Model Optimasi Bioekonomi Spasial
Model bioekonomi konvensional digunakan untuk kondisi sumberdaya ikan yang yang diasumsikan memiliki homogenitas dalam distribusi spasial dan upaya tangkap (effort). Model bioekonomi konvensional tersebut bila diterapkan pada perikanan demersal seperti kepiting, moluska, KJA, dan lainnya, tidak dapat dijadikan landasan. Hal ini disebabkan pada perikanan demersal asumsi tersebut kurang tepat karena : (1). Distribusi stok tersebar menurut sebaran spasial ; (2). Rendahnya tingkat mobilitas sumberdaya ikan bias apabila aspek spasial tidak diperhitungkan; (3). Pertumbuhan, mortality, dan parameter recruitment sangat bergantung pada kondisi lingkungan walaupun dalam jarak yang sempit (small distance).
Ketiga perihal diatas menuntut perlunya model optimasi bioekonomi spasial untuk menganalisis sumberdaya perikanan khususnya perikanan demersal. Model bioekonomi spasial mengestimasi alokasi spasial dinamik dari intensitas perikanan dari kapal tipe m dari pelabuhan Perikanan h dan menangkap ikan di daerah perikanan k pada saat t.
model optimasi bioekonomi spasial terlihat bahwa pengaruh jarak daerah penangkapan ikan dari pelabuhan asal sangat dipengaruhi oleh transfer costs biaya variabel yang digunakan untuk menuju daerah penangkapan ikan dari pelabuhan asal,

Sedangkan besarnya keuntungan (rent) dalam jangka pendek perilaku kapal ikan direfleksikan dengan penerimaan total yang diterima oleh kapal m dari pelabuhan h dari hasil menangkap ikan di daerah penangkapan ikan k adalah biaya variabel yang dikeluarkan oleh kapal m dari pelabuhan h dari hasil menangkap ikan di daerah penangkapan ikan k.
Selanjutnya optimasi model bioekonomi spasial melakukan pendugaan variable cost dengan biaya variable dihitung dengan mempertimbangkan : Transfer costs yang didefinisikan sebagai fungsi dari jarak (distance), Biaya bahan bakar rata-rata per km jarak yang ditempuh, Nilai proporsi hasil tangkapan dengan labor payment, Nilai biaya variabel lainnya (misalnya pemeliharaan, dll).
Model optimasi bioekonomi spasial juga mempresentasikan secara spasial CPUE kapal perikanan m yang menangkap ikan di fishing ground k dan biomassa ikan untuk fishing ground k pada saat t.
Berdasarkan konsep model optimasi bioekonomi spasial diatas, terlihat bahwa model optimasi bioekonomi spasial dibangun atas beberapa asumsi. Namun asumsi-asumsi model optimasi bioekonomi spasial tersebut memiliki kelemahan atau keterbatasan. Beberapa kelemahan model optimasi bioekonomi spasial sumberdaya perikanan yaitu :

a) Tidak dapat digunakan untuk mengestimasi sumberdaya perikanan bila terjadi
migrasi antar fishing ground.
Model optimasi bioekonomi spasial sering digunakan dalam mengestimasi sumberdaya perikanan, namun penerapan model ini tidak dapat digunakan pada sumberdaya perikanan yang sering melakukan migrasi antar fishing ground. Terjadi migrasi akan mempengaruhi nilai estimasi hasil dari model yang dibuat. Kondisi migrasi ini tentu saja mempengaruhi jarak tempuh dan biaya yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan. Selain itu, bila terjadi migrasi antar spesies maka estimasi untuk membedakan fishing ground dari satu lokasi ke lokasi lainnya sulit dilakukan. Secara spasial paling tidak ada empat kondisi penangkapan ikan yaitu (1) artisanal littoral fisheries; (2) fisheries in protected areas; (3) fisheries in expozed coastal zone; dan fisheries with high information costs (high seas). Keempat kondisi alokasi spasial ini tidak dapat menggunakan model optimasi bioekonomi bila terjadi migrasi antar fishing gound sumberdaya perikanan di suatu perairan. Asumsi alokasi spasial dari intensitas perikanan tangkap dari beberapa alternatif fishing ground adalah fungsi dari peluang menemukan spesies target, penerimaan bersih yang diperoleh dari fishing ground yang berbeda dan jarak dari alternatif fishing ground dari pelabuhan asal, namun bila terjadi migrasi antar fishing ground maka asumsi tersebut tidak dapat digunakan.

b)Hanya menggunakan Fishers price-taking behavior sebagai asumsi perilaku dasar
dari unit penangkapan ikan.
Asumsi dasar Fishers price-taking behavior yang digunakan dalam model optimasi bioekonomi spasial dinilai belum terlalu jelas mewakili indikator-indikator bioekonomi dari perilaku dasar dari unit pengangkapan ikan. Berbagai kegiatan penangkapan ikan tentunya membutuhkan berbagai asumsi sosial dan lingkungan jadi bukan sekedar asumsi atau faktor biologi dan ekonomi saja.

c)Secara spasial CPUE hanya dipengaruhi oleh fungsi q dan biomassa B dan
mengabaikan faktor rekruitmen.
Kondisi ini memberi gambaran bahwa bila fishing ground cenderung menurun jika terjadi peningkatan intensitas penangkapan dan variable yang terkait dengan penangkapan ikan. Sementara dalam kenyataanya bahwa terjadinya peningkatan dan penurunan fishing ground bukan saja ditentukan oleh fungsi q dan biomassa semata tapi juga oleh faktor lainnya seperti terjadinya rekruitmen dan faktor lingkungan lainnya.

2.Kelemahan Utama Model Optimasi Budidaya Perikanan
Salah satu potensi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut adalah pemanfaatan ruang perairan sebagai media budidaya perikanan. Kegiatan budidaya perikanan ini mengalami perkembangan yang sangat pesat yang diantaranya dapat dilihat dari kontribusi produksi perikanan yang dihasilkan dari sektor budidaya. Pada tahun 1984 kontribusi perikanan budidaya terhadap produksi perikanan global mencapai 12 persen, kemudian naik 17 persen pada tahun 1992, 28 persen pada tahun 1995 dan diperkirakan mencapai 50 persen pada tahun 2009. Besarnya kontribusi sektor perikanan yang tidak diimbangi dengan strategi dan kebijakan yang baik dikuatirkan berakibat terhadap keberlanjutan usaha perikanan itu sendiri dan kenaikan produksi tersebut hanya bertahan dalam jangka pendek.
Dengan demikian, maka strategi pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan khususnya budidaya perikanan mutlak diperlukan sebagai dasar pijakan dalam pengelolaan budidaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan. Salah satu strategi yang saat ini dikembangkan adalah model optimasi budidaya perikanan. Model optimasi ini tidak hanya memperhatikan faktor biologi semata namun juga faktor ekonomi sebagai landasan dalam mengestimasi tingkat pengelolaan budidaya perikanan yang berkelanjutan baik dari aspek biologi maupun aspek ekonomi.
Meskipun konsep model optimasi budidaya perikanan tersebut telah menggabungkan aspek biologi dan ekonomi sebagai sebagai dasar pijak dalam penilaian, namun model optimasi budidaya perikanan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang membatasi penggunaan model. Kelemahan model optimasi budidaya perikanan tersebut adalah :

1)Optimasi budidaya perikanan masih menggunakan asumsi harga konstan dan biaya
proses budidaya perikanan sama dengan nol.
Penggunaan asumsi harga konstan dan biaya proses budidaya perikanan sama dengan nol merupakan suatu hal yang mustahil dalam kegiatan budidaya perikanan. Kedua asumsi tersebut merupakan kondisi yang statis dan dinamikanya tergantung dari kondisi lingkungan dan harga pasar. Setiap kegiatan budidaya perikanan memiliki perbedaan dari antar lokasi baik dari segi harga maupun biaya proses budidaya, perbedaan ini selain dipengaruhi oleh lingkan dan harga pasar juga dipengaruhi oleh waktu atau periode.

2)Secara riel, proses budidaya perikanan membutuhkan biaya dan harga jual sebagai
trigger dari kegiatan budidaya perikanan itu sendiri.
Model optimasi budidaya perikanan selain menggunakan asumsi harga konstan dan biaya proses budidaya perikanan sama dengan nol juga mengabaikan biaya dan harga jual sebagai trigger dari kegiatan budidaya perikanan. Kondisi ini tentu saja bertolak belakang dengan realita kegiatan budidaya perikanan yang sangat tergantung dari biaya dan harga jual hasil budidaya perikanan. Setiap kegiatan budidaya perikanan sudah pasti akan mengalami stagnansi bila terjadi kenaikan/tingginya biaya produksi dan harga jual yang rendah, lain halnya bila biaya produksi lebih kecil dari biaya jual produk tentu akan sangat baik dalam keberlanjutan kegiatan budidaya perikanan. Asumsi ini yang belum dijadikan dasar dalam estimasi model budidaya perikanan.
3)Model optimasi budidaya perikanan mengabaikan komponen biaya tenaga kerja sebagai
bagian dari model estimasi.
Setiap proses kegiatan buidaya perikanan tidak akan dapat berjalan tanpa dibarengi dengan sentuhan tenaga kerja. Hal ini merupakan aspek penting dalam mengukur kinerja dari suatu kegiatan budidaya perikanan. Pengabaian terhadap komponen tenaga kerja dalam mengestimasi keberlanjutan kegiatan budidaya perikanan dapat berakibat fatal terhadap hasil akhir dan strategi kebijakan kedepan. Pentingnya biaya tenaga kerja ini akan mempengaruhi

3.Tiga Kelemahan Utama Model Optimasi Keterkaitan Ekosistem Mangrove dan Sumberdaya
Perikanan
Mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Ekosistem ini merupakan fungsi dan peran strategis dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan. Banyak riset menunjukkan bahwa salah satu peran ekologis penting mangrove adalah sebagai nursery ground bagi finfish, shrimps dan fishery resources lainnya. Ada tiga faktor penting dalam konteks nursery grounds :
- Trophic resources terkait dengan kandungan nutrien yang menghasilkan
produktivitas primer
- Water turbidity terkait dengan persepsi jarak dari predator dan meningkatkan
escape rate (rasio melarikan diri) bagi juvenil, dll
- Structural diversity terkait dengan penyediaan multiple spatial and trophic
niches yang penting bagi juvenile
Untuk itu, valuasi keterkaitan antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan penting dilakukan dalam kerangka pengelolaan lestari baik dari segi ekologis maupun dari segi ekonomi pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Dengan demikian maka kajian model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan merupakan hal yang menarik untuk dilakukan. Beberapa model optimasi keterkaitan mangrove dengan sumberdaya perikanan seperti udang. Dengan berbasis fakta bahwa sumberdaya perikanan (udang) memiliki keterkaitan dengan mangrove, maka
net expansions dari perikanan udang tergantung dari produktivitas biologis dan pemanfaatan bersih dari sumberdaya. Sementara itu, fungsi biologis dimodifikasi terkait dengan luas mangrove sebagai breeding and nursery grounds bagi udang, sedangkan model produksi sumberdaya tetap menggunakan konvensi Gordon-Schaefer model.
Dengan tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan di mana ekspansi effort untuk periode tertentu adalah tergantung dari profit dari pemanfaatan sumberdaya maka model effort expansions-nya diberikan. Pada kondisi steady state (ekuilibrium), kondisi stok (X), upaya tangkap (E) dan luas mangrove (M) pada kondisi yang konstan over time. Sedangkan pada kondisi open akses hubungan antara carrying capacity (K) dan luas mangrove (M)akan menghasilkan keseimbangan effort. Hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya luas mangrove akan mengakibatkan turunnya level of effort pada kondisi keseimbangan. Pada akhirnya dengan turunnya effort menyebabkan turunnya harvest dari pemanfaatan sumberdaya atau turunnya harvest menyebabkan loss of gross revenues. Dengan demikian secara empiris kondisi ini bisa di-test dengan mengestimasi parameter bioekonomi (α, r dan q ) serta parameter harga dan biaya (p dan c).
Model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dengan sumberdaya perikanan seperti yang telah diuraikan diatas, merupakan model yang sering digunakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Namun, penggunaan model optimasi tersebut hanya pada asumsi-asumsi tertentu saja karena menggunakan konsep bioekonomi sebagai dasar pemodelan. Dengan demikian model optimasi tersebut tidak dapat digunakan secara general untuk mengestimasi keberlanjutan sumberdaya perikanan, hal ini karena model optimasi ini masih memiliki beberapa kekurangan atau keterbatasan/kelemahan seperti ;

1)Tidak dapat mendeteksi secara pasti eksistensi mangrove sebagai causal factor
bagi stok sumberdaya perikanan khususnya hasil tangkapan ikan.
Umumnya model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan memiliki autokorelasi yang menampilkan model regresi didasarkan pada variasi georafis dari tangkapan ikan dan luas mangrove, sehingga tidak dapat di dideteksi secara pasti apakah mangrove menjadi causal factor bagi hasil tangkapan ikan. Dengan demikian maka keterkaitan mangrove dengan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir memerlukan analisis mendalam khususnya yang terkait dengan dinamika ekosistem estuaria.

2)Net expansions dari sumberdaya perikanan hanya mempertimbangkan produktivitas
biologis dan pemanfaatan bersih dari sumberdaya perikanan.
Keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan yang ada didalamnya memerlukan suatu kajian yang multi aspek, karena pada kenyataannya keberadaan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan ditentukan bukan saja oleh faktor biologis dan ekonomi semata tetapi juga oleh faktor ekologi dan sosial. Model optimasi ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan masih terbatas pada aspek biologi dan ekonomi dalam mengestimasi net expansions dari sumberdaya perikanan.

3)Menggunakan konvensi model Gordon-Schaefer sehingga mengabaikan faktor sosial dan
ekologi (lingkungan) sebagai bagian dari model.
Model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan menggunakan dasar teori Gordon-Schaefer, dimana estimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan berasumsi pada penggunaan aspek biologi dan ekonomi sebagai asumsi dasar dalam melakukan estimasi keberlanjutan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan. Dari model di atas dapat dilihat bahwa net expansions dari sumberdaya perikanan (udang) tergantung dari produktivitas biologis dan pemanfaatan bersih dari sumberdaya. Model produksi sumberdaya tetap menggunakan konvensi Gordon-Schaefer model, dimana surplus produksi biologi atau model dinamik biomassa digunakan dalam perikanan dengan asumsi harga-harga produk tetap. Dengan demikian maka model tersebut terlihat jelas bahwa asumsi biologi dan ekonomi menjadi acuan sedangkan faktor ekologi maupun sosial diabaikan.

Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan konsep-konsep yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga model optimasi diatas menggunakan asumsi bioekonomi Gordon-Schaefer, dimana estimasi sumberdaya perikanan didasarkan pada aspek biologi dan ekonomi saja, sedangkan aspek sosial tidak diperhitungkan dalam mengestimasi sumberdaya perikanan.
Dengan demikian maka model-model estimasi yang diperkenalkan diatas hanya sampai pada tahapan kedua pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana pencapaian keberlanjutan dari sumberdaya perikanan baru pada optimum biologi dan optimum ekonomi. Sedangkan optimum sosial tidak dijadikan asumsi dalam estimasi sumberdaya perikanan dari ketiga model optimasi, sehingga kegiatan penangkapan ikan yang diarahkan pada pencapaian produksi lestari yang memberikan nilai sosial tertinggi (socially optimum yield, OSY) belum dapat ditentukan oleh ketiga model optimasi tersebut.

Kamis, 04 Februari 2010

Kajian Resiliensi; Suatu Pendekatan Ekosistem

Kajian Resiliensi; Suatu Pendekatan Ekosistem  
(By: Masudin Sangaji)



Perspektif mengenai resiliensi pertama kali muncul dari ilmu ekologi pada dekade 60-an dan 70-an dari studi interaksi populasi seperti antara mangsa dan pemangsa dan respon fungsional dalam kaitan dengan teori stabilitas ekologi. Holling (1973) dalam tulisannya mengenai resiliensi dan stabilitas mengilustrasikan adanya beberapa domain stabilitas (multiple stability domains atau multiple basins of attraction) dalam sistem alam, serta domain tersebut berhubungan dengan proses ekologi, kejadian acak (misalnya gangguan), dan heterogenitas berdasarkan skala temporal dan spasial. Holling memperkenalkan resiliensi sebagai kapasitas untuk bertahan dalam sebuah domain pada saat menghadapi perubahan, dan mengajukan teori bahwa resiliensi menentukan persistensi hubungan dalam sebuah sistem dan merupakan ukuran kemampuan sistem tersebut untuk menyerap perubahan keadaan, mengarahkan, dan mempertahankan keadaan variabelnya.

Perspektif ini mulai berkembang awal dekade 90-an melalui penelitian mengenai studi interdisiplin biodiversitas, sistem kompleks, rejim hak kepemilikan, interaksi lintas level dan permasalahan kesesuaian antara ekosistem dan institusi, serta dalam hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan sistem sosio-ekonomi. Holling menuliskan bahwa dalam upaya menjembatani penelitiannya ke tingkat ekosistem melalui kombinasi persamaan predasi dengan berbagai proses yang berhubungan dalam sebuah model populasi, ditemukan adanya keadaan multi-stabil,  bentuk non linier dari respon fungsional dan respon reproduksi yang saling berinteraksi membentuk dua keadaan stabil. Keadaan multi-stabil ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari yang memiliki konsekuensi besar terhadap teori dan praktek yang ada. Pemahaman bahwa kondisi ekuilibrium tunggal dan stabilitas global yang digunakan selama ini telah menyebabkan fokus ilmu ekologi berfokus pada tingkah laku yang mendekati ekuilibrium dan pada carrying capacity tetap, yang bertujuan   untuk   meminimalkan   variabilitas.  Kondisi   multi-stabil   mengharuskan perhatian pada variabilitas tinggi yang merupakan atribut untuk menjamin keberadaan dan pembelajaran (existence and learning), dimana kejutan dan ketidakpastian yang inheren di dalamnya merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dalam sistem ekologis.

Selanjutnya, hasil-hasil penelitian mengenai pengelolaan adaptif sumberdaya dan lingkungan pada ekosistem regional dimana aspek sosial dan teori ekologi digunakan bersama untuk menganalisis bagaimana ekosistem terbentuk dan bertingkah laku, serta bagaimana institusi dan masyarakat yang berasosiasi dengannya diorganisir dan bertingkah laku yang menekankan pentingnya “belajar mengelola perubahan” daripada sekedar “bereaksi terhadap perubahan”.  

Perspektif tersebut dalam hubungannya dengan teori resiliensi berlawanan dengan pemahaman yang berpusat pada ekuilibrium, strategi command and control yang diarahkan untuk mengontrol variabilitas dari sumberdaya tertentu sebagai perspektif yang mendominasi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan kontemporer. Strategi seperti ini cenderung menyelesaikan permasalahan dalam jangka pendek, misalnya penurunan hasil panen, keberhasilan mengontrol satu variabel yang seringkali berfluktuasi yang menyebabkan perubahan variabel-variable pada skala temporal dan spasial, misalnya dinamika nutrien dan makanan.  Pengelolaan seperti ini menyebabkan praktek budidaya pertanian dan perikanan yang ada dijadikan homogen secara spasial yang rentan terhadap gangguan yang sebelumnya masih mampu diserap (Holling et al., 1998).

Perspektif di atas pada awalnya banyak ditentang oleh ilmuwan ekologi, karena lebih mudah mendemonstrasikan pergeseran (shift) antara berbagai keadaan dalam model dibandingkan pada dunia nyata (Holling, 1973; May, 1977), dinamika non linier dan perubahan equilibrium (domains of attraction) jarang ditemukan dalam kasus-kasus ekologis. Dalam kajian terhadap wilayah pesisir, konsep resiliensi dipandang sebagai sebuah konsep yang mengedepankan pendekatan respon ekosistem dalam mengkaji dinamika yang terjadi dan strategi adaptasi pengelolaan ekosistem guna mengembalikan/memulihkan ekosistem pada kondisi awal serta menyediakan umpan balik. Konsep seperti ini merupakan alternatif bagi pengelolaan wilayah pesisir terpadu.  

Daftar Pustaka :
Holling et al., 1998. Holling C.S., et al., 1998. Science, Sustainability, and Resource Management. In: Berkes, F., Folke, C. (Eds.), Linking Social and Ecological Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge University Press, Cambridge,UK, pp. 342–362.
Holling, 1973. Holling CS. 1973.  Resilience and Stability of Ecological Systems. Annual Review of Ecology and Systematics 4, 1–23.
May, 1977. Thresholds and breakpoints in ecosystems with a multiplicity of stable states. Nature 269, 471–477.


Minggu, 31 Januari 2010

NELAYAN SKALA KECIL DITENGAH REZIM PENGELOLAAN PERIKANAN

NELAYAN SKALA KECIL DITENGAH REZIM PENGELOLAAN PERIKANAN
(By Masudin Sangaji)

Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang jauh lebih besar daripada sumber daya alam yang ada di darat. Namun, potensi tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi antara lain karena masih kuatnya paradigma pembangunan Indonesia yang masih berorientasi di darat. Akibatnya produktivitas nelayan Indonesia hingga saat ini masih tergolong rendah. Untuk itu pengelolaan potensi perikanan yang melimpah ini hendaknya dapat dikelola dengan baik. Menyadari potensi yang dimiliki maka pemerintah telah membuat beberapa regulasi kebijakan sebagai dasar bagi pengelolaan potensi perikanan dan kelautan. Namun disadari bahwa beberapa regulasi seperti UU No.32 tahun 2004 tentang Otda, Permen No.5 Tahun 2008, tentang usaha perikanan tangkap dan UU No.27 tahun 2007, menjadi hal menarik untuk didiskusikan karena walaupun telah di implementasikan namun sejauh ini esensi dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan masih jauh dari apa yang diharapkan. Pertanyaan yang muncul adalah apa memang regulasi-regulasi tersebut belum mampu menjawab setiap persoalan ataukah system dan kewewenangan atau hak kepemilikan (property right) masyarakat nelayan belum ditempatkan pada porsi yang sebenarnya. Hal ini yang menimbulkan konflik kepentingan yang menjurus pada kerusakan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir dan lautan.
Di tengah kerisauan tentang kerusakan wilayah pesisir , maka Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 27 Tahun 2007. Apakah UU Nomor 27 Tahun 2007 ini memuat terobosan baru dan akan mendorong terciptanya tata pengaturan pesisir yang baik (good coastal governance)?. Dan salah satu ciri tata pengaturan pesisir yang baik adalah tingginya tingkat partisipasi masyarakat. Untuk itu, UU Nomor 27 Tahun 2007 telah memulainya, yakni dengan membuka ruang partisipasi masyarakat dalam siklus kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, baik perencanaan, implementasi (pemanfaatan, konservasi, mitigasi, rehabilitasi), maupun pengawasan dan pengendalian. Memang dalam undang-undang tersebut belum ditegaskan sampai level mana masyarakat dimungkinkan berpartisipasi: hanya informatif, konsultatif, kolaboratif, atau devolutif? Bila masyarakat sampai pada kewenangan untuk mengambil keputusan (devolusi), artinya masyarakat telah berdaya dan ini adalah level tertinggi dari partisipasi masyarakat.

Seiring dengan itu, hal menarik lainnya yang patut di cermati adalah pasal 10 UU Otda yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah perairan laut dalam skenario Otda. Disebutkan, bahwa daerah provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah kabupaten/Kota berwenang mengelola wilayah laut sejauh 4 mil laut. Kewenangan tersebut mencakup peraturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum. Dengan demikian, jelas bahwa implementasi Otda membawa sejumlah implikasi terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan. Untuk itu, sudah seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penetuan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Selanjutnya daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan di daerahnya itu. Dengan demikian semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal (nelayan kecil) untuk terlibat aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya.
Namun, disadari bahwa tidak semua kewenangan bisa diserahkan kepada masyarakat, begitu pula tidak semua kewenangan dapat diserahkan kepada pemerintah. Hal ini sangat bergantung pada skala, kompleksitas isu pengelolaan, dan tingkat keberdayaan masyarakat. Masyarakat biasanya efektif sebagai pengelola dalam skala desa atau kecamatan. Sedangkan dengan skala pengelolaan makin besar dan isu makin kompleks, dibutuhkan peran pemerintah. Apalagi di wilayah pesisir yang terdapat aktivitas selain perikanan, seperti transportasi, wisata bahari, dan pertambangan. Dengan demikian, ada tiga rezim pengelolaan yang dimungkinkan oleh UU Nomor 27 Tahun 2007 ini, yaitu rezim pemerintah, rezim kolaboratif, dan rezim masyarakat. Rezim pemerintah bias berlaku dalam penyusunan rencana strategis dan tingkat partisipasi masyarakat hanya sampai konsultatif. Namun, ketika memasuki perencanaan zonasi, sebaiknya diberlakukan rezim kolaboratif. Sebab, pada tahap kritis ini masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya mesti duduk bersama menentukan zonasi sesuai dengan kepentingannya. Tanpa mekanisme kolaboratif, dimungkinkan terjadinya proses marginalisasi masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana institusionalisasi partisipasi masyarakat ini? Ada banyak pilihan, salah satunya adalah dengan dibentuknya komite atau dewan partisipasi masyarakat, yang tugasnya adalah mewakili, menampung, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir. Selain terlibat aktif dalam proses perencanaan, komite ini merupakan forum untuk resolusi konflik. Adapun rezim masyarakat dinyatakan secara jelas pada Pasal 61, yang mengakui eksistensi hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Ini merupakan undang-undang pertama pasca kemerdekaan yang mengakui eksistensi hak adat. Memang dalam Undang-Udang Pokok Agraria (UUPA) 1960 juga ada pasal tentang pengakuan atas hak adat, tapi masih umum.

Adapun Pasal 16 Ayat 2 UUPA, yang menyebutkan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, secara substansi tidaklah kuat karena hanya mengatur hak pemanfaatan (withdrawal right) dan bukan hak pengelolaan (management right). Padahal pengakuan hak pengelolaan sangatlah penting sebagai bentuk devolusi pengelolaan pesisir. Di sinilah terobosan UU Nomor 27 Tahun 2007 yang dapat dijadikan dasar hukum untuk pengakuan adat di pesisir.
Namun, UU Nomor 27 Tahun 2007 juga masih mengandung pasal yang kontroversial, seperti Pasal 18, yang memberikan hak pemanfaatan perairan pesisir (HP3) kepada swasta, individu, ataupun masyarakat. HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang, serta dapat dialihkan (transferable). Ini merupakan eksperimen yang luar biasa berani. Menurut pemerintah, masyarakat dapat memperoleh HP3 sebagai bentuk perlindungan terhadap aktivitas ekonomi masyarakat di wilayah pesisir. Selama ini masyarakat sering terusir oleh aktivitas ekonomi yang dilakukan pemodal di wilayah pesisir. Tak berdayanya masyarakat terhadap kaum pemodal karena memang secara hukum tidak ada perlindungan yang efektif. UU Nomor 27 Tahun 2007 hadir untuk melakukan perlindungan tersebut. Ada semangat populis dalam pasal tersebut, meski kental pula semangat pro-pasarnya. Sehingga undang-undang tersebut lebih tepat disebut kompromistis atau pragmatis. Meski dimiliki masyarakat dan individu, HP3 tersebut bisa dialihkan sebagaimana sertifikat tanah. Bahkan HP3 dapat pula dijadikan agunan bank. Yang menjadi persoalan sebenarnya adalah pemberian HP3 kepada swasta. Pemberian HP3 kepada swasta memang menjurus pada privatisasi wilayah perairan pesisir, dan ini merupakan wujud dari semangat pro-pasar. Dan, secara teoritis, pendekatan pasar memang merupakan salah satu pendekatan dalam pengelolaan sumber daya.
Sealin itu, Peraturan menteri (Permen) no.5 Tahun 2008 tentang usaha perikanan tangkap pasal 74, mengamanatkan kluster perikanan ditetapkan berdasarkan batas koordinasi daerah penangkapan ikan. Hal menarik yang perlu dicermati dalam Permen ini adalah kegiatan penangkapan ikan dengan system kluster ini memberi hak ekslusif kepada pihak tertentu untuk mengelola kawasan tangkapan, selain itu usaha perikanan tangkap yang berbasis kluster ini menempatkan nelayan tradisional dengan para pengusaha besar dalam posisi yang setara. Penggolongan ini dinilai tidak mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap nelayan kecil yang otomatis memiliki keterbatasan baik dari segi SDM maupun armada tangkap jika dibanding dengan para pemodal besar. Kondisi ini sangat ironis dengan tujuan pembangunan sektor perikanan yang menempatkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan sebagai ukuran dalam menilai keberhasilan pembangunan di bidang perikanan. Hal ini sama seperti yang terjadi pada Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang telah digulirkan pada tahun 2008.
Dalam pengelolaan sumber daya perikanan, misalnya, dikenal adanya instrumen pasar berupa individual transferable quota (ITQ), yang selama ini dipraktekkan negara-negara Barat. Jadi, nelayan memiliki ITQ dalam jumlah tonase tertentu, dan kepemilikan kuota tersebut dapat dialihkan baik disewa maupun dijual ke pihak lain. Kelemahan pendekatan pasar tersebut adalah hasil akhir dari kepemilikan kuota yang memungkinkan terjadinya pemusatan kepemilikan kuota kepada pemodal kuat akibat proses pengalihan tersebut.
Apakah regulasi-regulasi seperti sistem kluster penangkapan (Permen No.5/2008) dan HP3 (UU No.27/2007) juga akan sama nasibnya seperti sistem kuota? Hasil akhir memang sulit ditebak, tapi mekanisme sistem kluster dan HP3 seperti itu memungkinkan terjadinya pemusatan kepemilikan pengelolaan kepada segelintir kelompok atau swasta karena kekuatan modalnya. Hal ini karena dengan mudah masyarakat atau swasta bisa mengalihkan hak kepemilikan pengelolaan kepada swasta lainnya. Pemusatan system kepemilikan kepada swasta pada gilirannya akan mereduksi nilai perairan pesisir dan laut hanya menjadi nilai ekonomi dan memupus nilai sosial yang selama ini melekat pada ciri perairan pesisir dan laut sebagai rezim sumber daya bersama (common property regime). Dan nilai-nilai sosial ini umumnya setali tiga uang dengan nilai ekologis.
Dengan demikian maka agenda ke depan harus dapat memberikan ruang partisipasi dan pengakuan hak adat menjadi sebuah terobosan baru yang positif. Untuk itu, agenda berikutnya adalah bagaimana menerjemahkan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004, UU Nomor 27 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 ke dalam system pengelolaan ataupun tata aturan yang memuat beberapa hal. Pertama, memerinci bentuk dan level partisipasi masyarakat untuk sejumlah tahapan pengelolaan pesisir. Kedua, menyusun mekanisme pengakuan hak adat dan skala pengelolaannya. Ketiga, menyusun formula pengintegrasian antara pengelolaan pesisir secara formal dan pengelolaan secara adat. Keempat, menyusun program pemberdayaan bagi masyarakat sehingga memiliki kapasitas untuk terlibat dalam proses pengelolaan pesisir. Terobosan baru ini akan dapat mengembalikan jati diri masyarakat pesisir sebagai pengelola wilayahnya dan bukan hanya sebagai penerima keputusan yang dibuat pihak lain, termasuk pemerintah. Dengan menguatnya peran serta masyarakat, diharapkan good fishery governance akan tercipta, dan diharapkan sejumlah persoalan pesisir, termasuk kemiskinan dan kerusakan ekologis, pada gilirannya nanti bisa diatasi.