Selasa, 13 April 2010

SMALL ISLAND AND MANAGEMENT PROBLEM


PULAU-PULAU KECIL DAN KENDALA PENGELOLAANNYA
By: Masudin Sangaji

Definisi dan Batasan Pulau Kecil
          Pulau kecil menurut Beller et al., (1990) dapat didefinisikan sebagai pulau denga luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 atau kurang.  Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari 2000 Km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 Km, sedangkan defenisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 Km2 dan lebar tidak lebih dari 3 Km (Unesco, 1991).
      Secara kenyataan kita dengan sanat mudah dapat mengetahui, minimal mengenal, mana daratan yang dapat digilongkan sebagai pulau dan mana yang tidak.  Nunn (1994) dalam Adrianto (2006) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibicrakan selama berabad-abad, namun defenisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan.  Defenisi paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut.  Pemahaman yang demikian menyimpulkan bahwa seluruh daratan (termasuk kontinen/benua) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari darat dan laut.
      Pulau kecil selain memiliki luas wilayah juga memiliki kekayaan sumberdaya alam pesisir.  Pulau-pulau kecil umumnya memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah.  Sumberdaya uang paling menonjol di pulau kecil adalah sumberdaya ikan dan untuk kawasan pulau kecil sumberdaya ikan ketersediaanya cukup banyak karena hal ini didukung oleh ekosistem yang beragam dan kompleks.
      Mangrove memiliki peranan penting dalam kehidupan biota perairan disekitarnya.  Daun mangrove yang gugur di dasar perairan melalui proses penguraian mikroorganisme dirubah menjadi partikel-partikel detritus, detritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut.  Selain itu bahan organik terlarut yang dihasilkan dari proses penguraian (dekomposisi) memasuki lingkungan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam filter feeder (pemakan dengan cara menyaring) serta berbagai macam hewan pemakan hewan dasar (Snedaker et al, 1984).  Kemampuan perakaran yang kokoh untuk menahan lumpur dan melindungi dari erosi serta meredam gelombang menjadikan daerah ini sebagai daerah asuhan dan pegai pemijahan bagi beberapa hewan perairan.  Manfaat lain produk langsung maupun tidak langsung dari mangrove adalah berupa kayu bakar, bahan bangunan, alat teknik penangkapan ikan, bahan baku kertas, obat-obatan, bahan baku tekstil dan kulit, serta tempat rekreasi.
      Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dimana produktivitas primernya dapat mencapai 1 Kg C/m2/thn.  Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi bagi daerah pesisir yaitu : 1. sumber utama produktivitas primer; 2. sumber makanan bagi organisme (berupa detritus); 3. menstabilkan dasar yang lunak dengan sistem akar silang dan padat; 4. tempat berlindung organisme; 5. sebagai peredam arus dan tempat pembesaran beberapa spesies hewan misalnya udang dan ikan baronang.
      Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis, dimana umumnya hidup di perairan yang dangkal dengan penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut.  Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, binatang karang ini membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antar 25-320C.  Karena sifat hidup ini maka terumbu karang banyak dijumpai di perairan Indonesia, yang relatif banyak mendapat cahaya matahari dengan menempati areal seluas 7.500 Km2 dari luas luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Lingkungan Hidup, 1992).  Terumbu karang juga memiliki produktivitas yang tinggi yang menurut Yonge (1963) dan Soddart (1969) dalam Supriharyono (2000) umumnya produktivitas primer perairan karang berkisar antara 1.500-3.500 gr C/m2/th, namun hal ini bisa mencapai 100 kali lebih besar daripada perairan lautan tropis sekitarnya.
      Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan sebagai tempat mencari makan bagi kebanyakan ikan dan biota lainya.  Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan (termasuk hewan lainnya) di daerah terumbu karang sangat tinggi.  Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000) bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah perairan karang.  Manfaat lain ekosistem ini adalah sebagai sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budidaya, peredam gelombang, mencegah terjadinya erosi, serta sebagai bahan bangunan.
       Kawasan pesisir dan lautan termasuk pulau-pulau kecil, merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya.  Total nilai ekonomi kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word's gross natural product, yang didalamnya  termasuk estuaria, terumbu karang, paparan, rawa payau/mangrove dan padang lamun adalah sebesar US $ 14.227 triliun (Constanza et al., 1997)
      Selain potensi sumberdaya alam yang ada, pesisir dan pulau kecil juga memiliki potensi jasa lingkungan seperti pariwisata dan perhubungan laut yang bernilai ekonomi bagi peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitarnya.  Selain itu, ekosistem pesisir dan pulau kecil juga memiliki fungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi, dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan, sehingga dalam pemanfaatanya harus seimbang dengan upaya konservasi dan kelestariannya sehingga tercipta pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan. Sampai pertengahan tahun 2001, diperkirakan 70 buah pulau kecil telah tenggelam. Penyebabnya adalah ulah manusia, ketimbang akibat perubahan iklim global yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut. Umumnya, tenggelamnya pulau kecil itu disebabkan oleh pengerukan pasir di sekitar pulau
Pulau kecil lazimnya memiliki ukuran luas kurang dari 10.000 km persegi. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Jumlah penduduknya kurang dari 500.000 orang.
Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka.
Indonesia pernah menjadi a world class mining country, sebuah julukan yang membanggakan tetapi mengandung suatu ironi. Membanggakan karena pertambangan mampu memberikan sumbangan devisa yang tidak kecil bagi negara. Pertambangan juga dianggap berjasa dalam memajukan pembangunan wilayah dan 'mensejahterakan' rakyatnya. Tetapi di balik itu, pertambangan sarat dengan masalah. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak mayarakat adat, atau perusakan dan penghancuran lingkungan serta penyebab kemiskinan struktural penduduk lokal.
Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia memang menggiurkan para investor. Tidak mengherankan kalau mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengeruk keuntungan dari hasil pertambangan tanpa peduli dampak yang ditimbulkan. Bila perlu hutan dibabat, laut dibor, tanah adat dirampas, kawasan konservasi dan pulau kecil yang menjadi penyangga kehidupan pun tak luput dari serbuan para pelaku pertambangan.
Daya dukung mineral dan minyak bumi yang berlokasi di daratan dan lepas pantai semakin hari semakin berkurang, sementara jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat semakin meningkat. Oleh karena itu, permintaan barang dan jasa di masa mendatang akan terus meningkat yang semakin tidak dapat dipenuhi lagi dari hasil-hasil pendayagunaan sumberdaya daratan. Arah mata bor pertambangan kini mulai dialihkan kepada keberadaan deposit mineral yang terdapat pada permukaan bawah laut. Inilah salah satu realitas dan kecenderungan pembangunan kelautan Indonesia memasuki abad ke-21.
Adalah suatu realitas bahwa pembangunan yang tidak berlandaskan pada kekuatan-kekuatan domestik riil telah memicu pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun dibalik pertumbuhan tersebut, timbul beberapa persoalan antara lain, (a) terbentuknya struktur ekonomi yang sangat rapuh sehingga rentan terhadap gejolak-gejolak eksternal seperti yang tercermin pada krisis ekonomi yang tengah berlangsung; (b) pertumbuhan ekonomi tersebut harus dibayar dengan utang luar negeri yang sangat besar; (c) ketertinggalan taraf hidup masyarakat, terutama masyarakat pesisir di tengah ketersediaan sumber daya alam di sekitarnya. Pada gilirannya, hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial.
          Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau kecil baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil di sini adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain.
          Batasan pulau kecil juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas areanya kurang dari 10.000 km2 dan mempunyai penduduknya berjumlah kurang dari 500.000 orang (Bell, et al., 1990). Menurut Dahuri (1998), pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil juga mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka.
          Dari uraian di atas, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil: yaitu (1) batasan fisik (luas pulau); (2) batasan ekologis (proporsi species endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya.
          Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu: (1) tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran, (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (Bengen, 2000; Ongkosongo, 1998; Sugandhy, 1998).

Ekosistem, Potensi Sumberdaya dan Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil
          Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil pesisir, antara lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, dkk., 1996).
          Sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tak dapat pulih (non-renewable resources). Sumberdaya yang dapat pulih, antara lain: sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweeds, lamun atau seagrass, mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan, sumberdaya tak dapat pulih, antara lain: minyak bumi dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.
          Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur, dan mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken, 1988). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman species penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman species ini adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu, dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuri, dkk., 1996). Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari, seperti  selam, layar maupun snorkling.
          Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya, selain bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat untuk memelihara anak (ikan). Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, selain itu ekosistem mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan membuat rumah (Dahuri dkk., 1996; Bengen, 2000).
          Sumberdaya rumput laut (seaweeds) banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir perairannya dangkal, gelombangnya kecil, subur dan kaya bahan organik terutama wilayah dekat pantai dan muara sungai. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi di samping sumberdaya perikanan. Sumberdaya rumput laut ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.
          Padang lamun (seagrass) merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska, ekinodermata dan cacing. Menurut Bengen (2000), secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu: (1) produsen detritus dan zat hara; (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; (4) sebagai tudung berlindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
          Sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga masih belum optimal dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit, dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum tersentuh. Demikian juga halnya dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
          Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut, merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan pariwisata.
          Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan ekonomi tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan (Dahuri, 1998).  Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.
          Menurut Dahuri (1998), ekosistem pulau-pulau kecil memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (1) pengatur iklim global; (2) siklus hidrologi dan biogeokimia; (3) penyerap limbah; (4) sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Selain fungsi ekologis, pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi bagi manusia, antara lain menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa pemanfaatan lingkungan alam yang indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan pariwisata laut, kegiatan budidaya (ikan, udang, rumput laut) yang dapat bermanfaat bagi peningkatan pendapatan atau mata pencaharian penduduk setempat, serta potensi sumberdaya hayati  yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dan bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang kesemuanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Kendala-kendala Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
          Menurut Dahuri (1998); Husni (1998), beberapa kendala yang dihadapi untuk pembangunan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1.    Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi sangat langka.
2.    Kesulitan atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi laut turut menghambat pembangunan.
3.   Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir (coastal ecosystem) dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya.
4.  Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) adalah saling terkait satu sama lain.
5.    Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.