Jumat, 19 Maret 2010

PULAU-PULAU KECIL, RESILIENSI DAN PERUBAHAN IKLIM (Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan)


Pulau-Pulau Kecil, Resiliensi dan Perubahan Iklim: 
Suatu Gagasan Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan
Oleh : Masudin Sangaji


Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lainnya, namun demikian selama ini pengetahuan mengenai karateristik pulau-pulau kecil masih kurang dipahami benar oleh para pemanfaatnya.  Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan wilayah daratan atau pulau besar (mainland).  Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil.  Disinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove), dan rumput laut (sea weeds) serta beragam biota ditemukan.  Selain itu, pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Di sisi lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan (vulnaribilyti) yang cukup tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi (penenggelaman).  Sedangkan wilayah pesisir walaupun memiliki ketersediaan air yang cukup dibanding pulau kecil, namun daerah ini memiliki resiko abrasi dan intrusi air laut yang mengancam setiap saat.  Oleh karena itu, pilihan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan gabungan dari dua sisi ini.  Kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitatif) seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi air, dan sebagainya yang merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas ekstraksi justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya dan mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam.
Keseimbangan dan harmonisasi ekosistem pulau-pulau kecil akan terganggu akibat tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan yang cenderung mengabaikan batas-batas keseimbangan yang dimiliki oleh lingkungan hidup (Boughey, 1975). Pengabaian terhadap kapasitas daya dukung pulau-pulau kecil dalam mentolerir akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan dikarenakan adanya motivasi berupa penigkatan kesejahteraan umat manusia yang dilandasi pada pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh pandangan atau paradigma kornopian teknosetrisme (Turner et al., 1994;30). Melalui paradigma pembangunan ini, manusia dianggap mampu “menaklukan” alam dengan pengembangan teknologi yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam kesejahteraan manusia (Turner et al., 1994;17).
Pandangan tersebut mulai tersanggah semenjak disadari bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan pengendalian pertumbuhan populasi manusia telah menimbulkan fenomena global yang merugikan dan saling terkait (Ismawan, 1999; Pearce and Warford, 1993). Fenomena global tersebut adalah “perubahan iklim (climate change). Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut dan  berubahnya pola curah hujan serta tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia.  Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim. Perubahan iklim sendiri merupakan sebuah fenomena global karena penyebabnya bersifat global, disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia. Selain itu, dampaknya juga bersifat global, dirasakan oleh seluruh mahluk hidup di berbagai belahan dunia.
Khusus untuk pulau-pulau kecil, pemahaman bahwa kapasitas ekosistem pulau-pulau kecil untuk beregenerasi setelah bencana dan terus menghasilkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi manusia tidak bisa lagi diterima. Akan tetapi, resiliensi sosial-ekologis perlu untuk lebih dipahami pada skala yang lebih luas serta dikelola dan dijaga secara aktif. 
Pengembangan resiliensi di wilayah pulau-pulau kecil adalah hal yang penting mengingat trend perkembangan pemukiman, pemanfaatan sumberdaya dan perubahan lingkungan. Dua per tiga dari bencana pulau-pulau kecil yang tercatat setiap tahun terkait dengan cuaca buruk seperti taufan dan banjir, yang ancamannya tampaknya akan semakin luas karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia terhadap iklim bumi dan kenaikan paras muka laut. 
Oleh karenanya perubahan iklim yang ditandai dengan berubahnya temperatur, presipitasi dan kenaikan air laut yang selanjutnya berpengaruh terhadap pengurangan garis pantai yang dapat mengakibatkan hilangnya pulau-pulau kecil. Dengan demikian maka di perlukan suatu solusi yang bersifat global, namun dalam bentuk aksi lokal di seluruh dunia. Untuk itu, sangat dibutuhkan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.  Dan resiliensi ekosistem merupakan konsep yang relefan bagi pengelolaan pulau-pulau kecil dalam upaya menghadapi gejala perubahan iklim (global warming).
 Perubahan iklim global dapat berdampak pada terjadinya penurunan secara kontinyu kualitas ekosistem pulau-pulau kecil, penurunan stok sumberdaya serta kemiskinan dan ketertinggalan. Penurunan kualitas ekosistem ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem utama, seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun.  Kerusakan ekosistem ini ditandai dengan makin tingginya pemanfaatan dan tingginya tekanan beban lingkungan akibat aktivitas di wilayah pesisir yang semakin meningkat.
Persoalan utama dalam pengelolaan adalah penggunaaan asumsi  respon ekosistem terhadap penggunaan sumberdaya alam oleh manusia yang bersifat linier, dapat diprediksi/dikontrol. Karena manusia dan sistem alam merupakan bagian yang terpisah sehingga juga dapat dikelola secara terpisah. 
          Daya dukung ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan terus menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya (Folke and Kautsky 1989, Naylor et al. 1998, 2000). Sistem ekologi dan sistem sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem terintegrasi (Eko-sosio sistem). Keduanya memiliki kompleksitas dan terus berubah sehingga pengelolaannya akan selalu dihadapkan pada persoalan ketidakpastian dan perubahan mendadak (Folke et al. 2002).
Pulau-pulau kecil dan ekosistemnya yang sebagian besar kawasannya adalah laut, merupakan wilayah yang selalu berada dalam keadaan dinamis serta penuh perubahan dalam siklus waktu pendek (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau kecil  sangat rentan dari berbagai perubahan gejala alam yang makin sulit diprediksi dan penuh ketidakpastian. Semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial  menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang makin tinggi (Holling 1986, Kates and Clark 1996).
Isu paling penting  berhubungan dengan perubahan iklim global yang relevan dengan pengelolaan  pesisir masa depan adalah pemanasan global (Harvey 2006).   Pemahaman tersebut menyadarkan pentingnya teknik menilai kerentanan serta pengembangan pendekatan yang dibutuhkan untuk beradaptasi.  Adaptasi merupakan kemampuan sistem sosial dan ekologi yang terkait sangat erat, untuk menghadapi situasi baru tanpa mengurangi kesempatan mendapatkan pilihan  masa depan. Kunci untuk meningkatkan kapasitas adaptif ialah Resilliensi yang merupakan strategi yang mulai dikembangkan (Folke et all. 2002).
Pengembangan resilliensi eko-sosio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes and Seixas, 2005). Resiliensi adalah kapasitas keterkaitan sistem ekologi dan sosial untuk mengabsorbsi gangguan dari perubahan yang bersifat mendadak, sehingga mampu mempertahankan struktur dan proses  esensial serta menyediakan umpan balik.  Derajat kemampuan sistem kompleks yang adaptif untuk mengorganisisaikan diri secara mandiri, serta membangun kapasitas belajar dan beradaptasi (Holling 2001, Gunderson and Holling 2002, Berkes et al. 2002, Adger et al. 2005).  Pengembangan resiliensi eko-sosio sistem di negara berkembang masih sangat diabaikan (Kay 2006), sementara resiliensi sangat sesuai untuk digunakan untuk mengkaji pengelolaan pesisir khususnya bila dikaji dari aspek perubahan mendadak (Holling, Berkes, 2007: Pers.comm).
Aksi strategis yang mengintegrasikan pemikiran dampak dari pemanasan global terhadap bencana pulau-pulau kecil dalam ICZM harus dilakukan karena akan melindungi biodiversitas, integritas ekologis, mata pencaharian, serta  menyelamatkan umat manusia (Thia Eng 2006). 



Selasa, 16 Maret 2010

Keterbatasan Beberapa Model Optimasi Sumberdaya Perikanan

Oleh : Masudin Sangaji/NRP.C262080071

A.Pendahuluan
Model bioekonomi menghadirkan kombinasi antara aspek biologi dan model ekonomi yang diaplikasikan pada bidang perikanan. Istilah bioekonomi diperkenalkan pertama kali oleh TI Baranoff, seorang teoretikus biologi laut asal Rusia, yang menamakan karya ilmiahnya dengan istilah bionomics atau bioeconomics meskipun dalam karya tersebut tidak banyak banyak disinggung tentang faktor-faktor ekonomi. Selanjutnya Scot Gordon merupakan pionir dalam pengembangan bioekonomi, dia adalah seorang ahli ekonomi dari Kanada. Gordon yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal, dengan menggunakan basis biologi yang diperkenalkan oleh Schaefer yaitu konsep Maximum Sustainable Yield (MSY). Selanjutnya istilah bioekonomi secara intensif dipergunakan oleh Collin Clark dan Gordon Munro.
Dalam bioekonomi perikanan, model dasarnya menggunakan teori dan konsep biologi yang selanjutnya dipadukan dengan konsep ekonomi. Konsep bioekonomi perikanan dikembangkan karena ada kekhawatiran terjadinya the tragedy of the common atau tragedy kebersamaan pada sumberdaya perikanan. Apabila suatu sumberdaya menjadi miliki bersama atau tidak jelas pemilikannya, dimana setiap pihak secara bebas dapat mengaksesnya maka eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut tidak dapat dikendalikan yang berujung pada over eksploitasi. Jika pemanfaatan sumberdaya perikanan melebihi kemampuan daya pulih sumberdaya (regenerasi stok), maka stok sumberdaya ikan akan mengalami penurunanan menuju kepda kepunahan. Oleh karena itu dikembangkan pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY). Pada level MSY maka pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak menganggu kelestarian sumberdaya , dimana jumlah hasil tangkapan berada pada batasan surplus produksi.

B.Konsep Optimasi Sumberdaya Perikanan
Diskusi tentang optimasi pengelolaan sumberdaya perikanan pada prinsipnya merupakan kajian terhadap konsep tingkat penangkapan optimum. Sejauh ini, perkembangan pengertian atas konsep ‘tingkat penangkapan optimum’ dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah melewati tiga tahapan (Cunningham, 1985; Copes, 1981; Christy, 1973):
1.Tahap pertama, dimana kegiatan penangkapan stok perikanan diarahkan pada pencapaian tingkat produksi lestari tertinggi (maximum sustainable yield, MSY). Pendekatan dalam konsep ini didasarkan sepenuhnya pada variabel dan parameter biologis.
2.Tahap kedua, dimana arah kegiatan penangkapan dititik-beratkan bukan pada pencapaian tingkat produksi tertinggi, melainkan pada tingkat produksi lestari yang memberikan efisiensi tertinggi (maximum economic yield, MEY). Dengan demikian, selain mempertimbangkan variabel dan parameter biologi, konsep ini juga memasukkan variabel dan parameter ekonomi.
3.Tahap ketiga, dimana kegiatan penangkapan diarahkan pada pencapaian produksi lestari yang memberikan nilai sosial tertinggi (socially optimum yield, OSY). Konsep ini didasarkan pada pendapat kritikus terhadap konsep MEY (mis. Charles, 1994), bahwa pertimbangan dalam penentuan tingkat penangkapan optimal seharusnya tidak terbatas pada variabel ekonomis dan biologis saja, melainkan harus mencakup segenap aspek yang terkait. Di antara aspek-aspek terkait tersebut adalah aspek sosial (Healey, 1984), politik (Beddington and Rettig, 1983), budaya (Charles, 1994). Sebagian sosiolog (mis. Christy, 1973) bahkan memasukkan aspek yang tampak tidak ada hubungannya dengan perikanan semisal nasionalisme.
Berdasarkan tahapa-tahapan tersebut maka dikembangkan beberapa konsep optimasi sumberdaya perikaanan dan ekosistemnya, seperti;

Optimum biologi
Konsep biologi merupakan yang pertama memberikan interpretasi terhadap istilah tangkap optimum (Schaefer, 1954). Menurut konsep ini, penentuan nilai optimum dilakukan berdasar model pertumbuhan populasi alami (natural population growth model). Model ini didasarkan atas teori yang menyatakan keterkaitan antara tingkat kepadatan dengan tingkat pertumbuhan populasi ikan. Implikasi lanjut dari teori tersebut adalah bahwa aktivitas penangkapan konstan sebesar laju pertumbuhan tertentu akan menyebabkan bertahannya populasi pada tingkat kepadatan tertentu pula.
Keterbatasan ketersediaan makanan dan ruang menyebabkan pertumbuhan populasi akan menurun sejalan dengan kenaikan kepadatan populasi. Oleh karena itu, hubungan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat kepadatan pupulasi biasanya digambarkan dengan kurva berbentuk genta. Puncak dari kurva itu menunjukkan pertumbuhan maksimum dari populasi ikan, dan nilai itulah tingkat pemanenan tertinggi yang diperbolehkan atas stok ikan yang bersangkutan (MSY). Tampak di sini bahwa sasaran optimalisasi menurut konsep MSY adalah tujuan biologis, yaitu pencapaian produksi tertinggi berdasarkan kapasitas sumberdayanya.

Optimum ekonomi
Konsep optimum berikutnya dikembangkan kemudian oleh para ekonom, dengan mengedepankan paradigma baru, yaitu efisiensi. Dalam hal ini, model pertumbuhan populasi alami diperbaiki dengan pencantuman variabel dan parameter ekonomi, sehingga besarnya laba bersih dari setiap tingkat penangkapan tertentu dapat ditentukan. Parameter biaya perlu dicantumkan dengan pertimbangan bahwa realisasi potensi produksi dari suatu populasi tidak terlepas dari penyertaan input sampai tingkat tertentu.. Dari model ini, dapat ditentukan tingkat panen yang memberikan laba bersih tertinggi, yang disebut sebagai maximum economic yield (MEY). Pada masa itu, para ekonom meyakini bahwa MEY itulah konsep optimum yang sesungguhnya (Healey, 1984).

Optimum sosial
Perkembangan kompleksitas masalah dalam manajemen perikanan mendorong pemikiran baru untuk merumuskan konsep panen optimum yang lebih baik. Konsep lama, yang terbukti cukup mampu untuk menjawab persoalan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan selama bertahun-tahun, dirasa tidak mampu lagi menjawab persoalan baru yang muncull beberapa waktu kemudian. Bahkan, terbukti bahwa asumsi-asumsi yang dipergunakan pada konsep yang lama sangat berpotensi untuk menghancurkan kelangsungan sumberdaya perikanan. Sebagaimana dikemukanan oleh para ahli ilmu sosial, e.g., Crutchfield (1975), Roedel (1975), dan Healey (1984), konsep MEY terbukti tidak cukup fleksibel untuk menghadapi perkembangan kompleksitas masalah tersebut. Kelemahan konsep MEY pun diakui oleh beberapa pendukungnya, misalnya Christy (1977).
Secara lebih spesifik, Healey (1984) mengatakan bahwa optimum yield seharusnya tidak hanya memasukkan variabel-variabel ekonomi yang terkait langsung dengan produksi (biaya ekploitasi, nilai penjualan, dan tingkat suku bunga), melainkan harus pula merangkum variabel-variabel tak langsung seperti misalnya nilai konservasi, nilai sosial, dsb. Sebetulnya, sepanjang tersedia teknik yang dapat digunakan untuk mengukur nilai ekonomis dari variabel-variabel tak langsung tersebut, konsep MEY telah cukup memadai (Copes, 1981). Masalahnya, penentuan nilai ekonomis dari variabel-variabel yang sebenarnya relevan dengan manajemen suatu sumberdaya perikanan sering tidak mudah. Sebagai contoh, Pollnac & Littlefield (in Healey, 1984) menunjuk suatu variabel berupa manfaat psikis yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan.
Contoh lain dari variabel penting yang sulit untuk dikuantifikasikan adalah ‘etika’, sebagaimana didiskusikan dalam Sears (1965). Diskusi tentang etika secara umum menyimpulkan bahwa harus ada keseimbangan dalam menyikapi keberadaan sumberdaya alam. Rees (1990), misalnya, mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya oleh manusia tidak boleh mengorbankan tatanan alam; misalnya., pembangunan yang ditujukan untuk manfaat-manfaat yang bersifat ekonomis harus menghindari penurunan keindahan alam. Di sisi lain, literature lain (e.g., WECD, 1987 and Brown, 1995) mengingatkan pentingnya eksistensi manusia dalam mengusahakan pelestarian alam. Sebuah pesan penting yang harus kita perhatikan adalah bahwa tidak pada tempatnya untuk memaksa sekelompok masyarakat miskin meninggalkan kegiatan pemanenan suatu sumberdaya atas nama sebuah manfaat tertentu, semisal eksistensi sumberdaya tersebut, yang hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orangkaya dari kota. Kontroversi tentang ‘keseimbangan’ bisa berlangsung selamanya karena sebagaimana dikatakan oleh Cunningham (1985) nilai optimum sebenarnya bergantung pada siapa yang sedang mencoba mengoptimalkan.
Untuk mengakomodasikan aspek-aspek / variabel yang tidak tercakup dalam konsep MEY, Healey (1984) memperkenalkan sebuah pendekatan yang dinamakan analisis multiatribut. Pendekatan ini dikembangkan dengan memandang manfaat maksimum suatu sumberdaya dengan kepuasan tertinggi yang didapat oleh para penggunanya. Kepuasan tersebut digambarkan sebagai akumulasi dari berbagai komponen manfaat (atau disebut sebagai atribut) yang dirasa oleh pengguna dari eksploitasi sumberdaya, misalnya manfaat eknonomi, manfaat sosial, dsb. Tegasnya, konsep ini menyerahkan penilaian subjektif atas komponen-komponen manfaat tersebut kepada pengguna. Kepada pengguna, diberikan keleluasaan untuk memilih suatu tingkat eksploitasi yang terbaik menurut pandangan mereka dengan catatan bahwa pilihan tersebut tidak boleh melebihi kapasitas yang dimiliki oleh sumberdaya tersebut. Tingkat eksploitasi terpilih tersebut kemudian dinamakan OSY (Socially Optimum Yield).

C.Kelemahan/Keterbatasan Utama Model Optimasi
Atas dasar pandangan dan konsep bioekonomi perikanan diatas, maka model optimasi bioekonomi spasial, model optimasi budidaya perikanan, dan model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan, relevan dilakukan. Namun model-model optimasi tersebut dalam prakteknya terbatas pada asumsi-asumsi tertentu yang merupakan kelemahan dari model optimasi tersebut. Masing-masing model optimasi tersebut memiliki tiga kelemahan utama, kelemahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Kelemahan Utama Model Optimasi Bioekonomi Spasial
Model bioekonomi konvensional digunakan untuk kondisi sumberdaya ikan yang yang diasumsikan memiliki homogenitas dalam distribusi spasial dan upaya tangkap (effort). Model bioekonomi konvensional tersebut bila diterapkan pada perikanan demersal seperti kepiting, moluska, KJA, dan lainnya, tidak dapat dijadikan landasan. Hal ini disebabkan pada perikanan demersal asumsi tersebut kurang tepat karena : (1). Distribusi stok tersebar menurut sebaran spasial ; (2). Rendahnya tingkat mobilitas sumberdaya ikan bias apabila aspek spasial tidak diperhitungkan; (3). Pertumbuhan, mortality, dan parameter recruitment sangat bergantung pada kondisi lingkungan walaupun dalam jarak yang sempit (small distance).
Ketiga perihal diatas menuntut perlunya model optimasi bioekonomi spasial untuk menganalisis sumberdaya perikanan khususnya perikanan demersal. Model bioekonomi spasial mengestimasi alokasi spasial dinamik dari intensitas perikanan dari kapal tipe m dari pelabuhan Perikanan h dan menangkap ikan di daerah perikanan k pada saat t.
model optimasi bioekonomi spasial terlihat bahwa pengaruh jarak daerah penangkapan ikan dari pelabuhan asal sangat dipengaruhi oleh transfer costs biaya variabel yang digunakan untuk menuju daerah penangkapan ikan dari pelabuhan asal,

Sedangkan besarnya keuntungan (rent) dalam jangka pendek perilaku kapal ikan direfleksikan dengan penerimaan total yang diterima oleh kapal m dari pelabuhan h dari hasil menangkap ikan di daerah penangkapan ikan k adalah biaya variabel yang dikeluarkan oleh kapal m dari pelabuhan h dari hasil menangkap ikan di daerah penangkapan ikan k.
Selanjutnya optimasi model bioekonomi spasial melakukan pendugaan variable cost dengan biaya variable dihitung dengan mempertimbangkan : Transfer costs yang didefinisikan sebagai fungsi dari jarak (distance), Biaya bahan bakar rata-rata per km jarak yang ditempuh, Nilai proporsi hasil tangkapan dengan labor payment, Nilai biaya variabel lainnya (misalnya pemeliharaan, dll).
Model optimasi bioekonomi spasial juga mempresentasikan secara spasial CPUE kapal perikanan m yang menangkap ikan di fishing ground k dan biomassa ikan untuk fishing ground k pada saat t.
Berdasarkan konsep model optimasi bioekonomi spasial diatas, terlihat bahwa model optimasi bioekonomi spasial dibangun atas beberapa asumsi. Namun asumsi-asumsi model optimasi bioekonomi spasial tersebut memiliki kelemahan atau keterbatasan. Beberapa kelemahan model optimasi bioekonomi spasial sumberdaya perikanan yaitu :

a) Tidak dapat digunakan untuk mengestimasi sumberdaya perikanan bila terjadi
migrasi antar fishing ground.
Model optimasi bioekonomi spasial sering digunakan dalam mengestimasi sumberdaya perikanan, namun penerapan model ini tidak dapat digunakan pada sumberdaya perikanan yang sering melakukan migrasi antar fishing ground. Terjadi migrasi akan mempengaruhi nilai estimasi hasil dari model yang dibuat. Kondisi migrasi ini tentu saja mempengaruhi jarak tempuh dan biaya yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan. Selain itu, bila terjadi migrasi antar spesies maka estimasi untuk membedakan fishing ground dari satu lokasi ke lokasi lainnya sulit dilakukan. Secara spasial paling tidak ada empat kondisi penangkapan ikan yaitu (1) artisanal littoral fisheries; (2) fisheries in protected areas; (3) fisheries in expozed coastal zone; dan fisheries with high information costs (high seas). Keempat kondisi alokasi spasial ini tidak dapat menggunakan model optimasi bioekonomi bila terjadi migrasi antar fishing gound sumberdaya perikanan di suatu perairan. Asumsi alokasi spasial dari intensitas perikanan tangkap dari beberapa alternatif fishing ground adalah fungsi dari peluang menemukan spesies target, penerimaan bersih yang diperoleh dari fishing ground yang berbeda dan jarak dari alternatif fishing ground dari pelabuhan asal, namun bila terjadi migrasi antar fishing ground maka asumsi tersebut tidak dapat digunakan.

b)Hanya menggunakan Fishers price-taking behavior sebagai asumsi perilaku dasar
dari unit penangkapan ikan.
Asumsi dasar Fishers price-taking behavior yang digunakan dalam model optimasi bioekonomi spasial dinilai belum terlalu jelas mewakili indikator-indikator bioekonomi dari perilaku dasar dari unit pengangkapan ikan. Berbagai kegiatan penangkapan ikan tentunya membutuhkan berbagai asumsi sosial dan lingkungan jadi bukan sekedar asumsi atau faktor biologi dan ekonomi saja.

c)Secara spasial CPUE hanya dipengaruhi oleh fungsi q dan biomassa B dan
mengabaikan faktor rekruitmen.
Kondisi ini memberi gambaran bahwa bila fishing ground cenderung menurun jika terjadi peningkatan intensitas penangkapan dan variable yang terkait dengan penangkapan ikan. Sementara dalam kenyataanya bahwa terjadinya peningkatan dan penurunan fishing ground bukan saja ditentukan oleh fungsi q dan biomassa semata tapi juga oleh faktor lainnya seperti terjadinya rekruitmen dan faktor lingkungan lainnya.

2.Kelemahan Utama Model Optimasi Budidaya Perikanan
Salah satu potensi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut adalah pemanfaatan ruang perairan sebagai media budidaya perikanan. Kegiatan budidaya perikanan ini mengalami perkembangan yang sangat pesat yang diantaranya dapat dilihat dari kontribusi produksi perikanan yang dihasilkan dari sektor budidaya. Pada tahun 1984 kontribusi perikanan budidaya terhadap produksi perikanan global mencapai 12 persen, kemudian naik 17 persen pada tahun 1992, 28 persen pada tahun 1995 dan diperkirakan mencapai 50 persen pada tahun 2009. Besarnya kontribusi sektor perikanan yang tidak diimbangi dengan strategi dan kebijakan yang baik dikuatirkan berakibat terhadap keberlanjutan usaha perikanan itu sendiri dan kenaikan produksi tersebut hanya bertahan dalam jangka pendek.
Dengan demikian, maka strategi pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan khususnya budidaya perikanan mutlak diperlukan sebagai dasar pijakan dalam pengelolaan budidaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan. Salah satu strategi yang saat ini dikembangkan adalah model optimasi budidaya perikanan. Model optimasi ini tidak hanya memperhatikan faktor biologi semata namun juga faktor ekonomi sebagai landasan dalam mengestimasi tingkat pengelolaan budidaya perikanan yang berkelanjutan baik dari aspek biologi maupun aspek ekonomi.
Meskipun konsep model optimasi budidaya perikanan tersebut telah menggabungkan aspek biologi dan ekonomi sebagai sebagai dasar pijak dalam penilaian, namun model optimasi budidaya perikanan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang membatasi penggunaan model. Kelemahan model optimasi budidaya perikanan tersebut adalah :

1)Optimasi budidaya perikanan masih menggunakan asumsi harga konstan dan biaya
proses budidaya perikanan sama dengan nol.
Penggunaan asumsi harga konstan dan biaya proses budidaya perikanan sama dengan nol merupakan suatu hal yang mustahil dalam kegiatan budidaya perikanan. Kedua asumsi tersebut merupakan kondisi yang statis dan dinamikanya tergantung dari kondisi lingkungan dan harga pasar. Setiap kegiatan budidaya perikanan memiliki perbedaan dari antar lokasi baik dari segi harga maupun biaya proses budidaya, perbedaan ini selain dipengaruhi oleh lingkan dan harga pasar juga dipengaruhi oleh waktu atau periode.

2)Secara riel, proses budidaya perikanan membutuhkan biaya dan harga jual sebagai
trigger dari kegiatan budidaya perikanan itu sendiri.
Model optimasi budidaya perikanan selain menggunakan asumsi harga konstan dan biaya proses budidaya perikanan sama dengan nol juga mengabaikan biaya dan harga jual sebagai trigger dari kegiatan budidaya perikanan. Kondisi ini tentu saja bertolak belakang dengan realita kegiatan budidaya perikanan yang sangat tergantung dari biaya dan harga jual hasil budidaya perikanan. Setiap kegiatan budidaya perikanan sudah pasti akan mengalami stagnansi bila terjadi kenaikan/tingginya biaya produksi dan harga jual yang rendah, lain halnya bila biaya produksi lebih kecil dari biaya jual produk tentu akan sangat baik dalam keberlanjutan kegiatan budidaya perikanan. Asumsi ini yang belum dijadikan dasar dalam estimasi model budidaya perikanan.
3)Model optimasi budidaya perikanan mengabaikan komponen biaya tenaga kerja sebagai
bagian dari model estimasi.
Setiap proses kegiatan buidaya perikanan tidak akan dapat berjalan tanpa dibarengi dengan sentuhan tenaga kerja. Hal ini merupakan aspek penting dalam mengukur kinerja dari suatu kegiatan budidaya perikanan. Pengabaian terhadap komponen tenaga kerja dalam mengestimasi keberlanjutan kegiatan budidaya perikanan dapat berakibat fatal terhadap hasil akhir dan strategi kebijakan kedepan. Pentingnya biaya tenaga kerja ini akan mempengaruhi

3.Tiga Kelemahan Utama Model Optimasi Keterkaitan Ekosistem Mangrove dan Sumberdaya
Perikanan
Mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Ekosistem ini merupakan fungsi dan peran strategis dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan. Banyak riset menunjukkan bahwa salah satu peran ekologis penting mangrove adalah sebagai nursery ground bagi finfish, shrimps dan fishery resources lainnya. Ada tiga faktor penting dalam konteks nursery grounds :
- Trophic resources terkait dengan kandungan nutrien yang menghasilkan
produktivitas primer
- Water turbidity terkait dengan persepsi jarak dari predator dan meningkatkan
escape rate (rasio melarikan diri) bagi juvenil, dll
- Structural diversity terkait dengan penyediaan multiple spatial and trophic
niches yang penting bagi juvenile
Untuk itu, valuasi keterkaitan antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan penting dilakukan dalam kerangka pengelolaan lestari baik dari segi ekologis maupun dari segi ekonomi pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Dengan demikian maka kajian model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan merupakan hal yang menarik untuk dilakukan. Beberapa model optimasi keterkaitan mangrove dengan sumberdaya perikanan seperti udang. Dengan berbasis fakta bahwa sumberdaya perikanan (udang) memiliki keterkaitan dengan mangrove, maka
net expansions dari perikanan udang tergantung dari produktivitas biologis dan pemanfaatan bersih dari sumberdaya. Sementara itu, fungsi biologis dimodifikasi terkait dengan luas mangrove sebagai breeding and nursery grounds bagi udang, sedangkan model produksi sumberdaya tetap menggunakan konvensi Gordon-Schaefer model.
Dengan tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan di mana ekspansi effort untuk periode tertentu adalah tergantung dari profit dari pemanfaatan sumberdaya maka model effort expansions-nya diberikan. Pada kondisi steady state (ekuilibrium), kondisi stok (X), upaya tangkap (E) dan luas mangrove (M) pada kondisi yang konstan over time. Sedangkan pada kondisi open akses hubungan antara carrying capacity (K) dan luas mangrove (M)akan menghasilkan keseimbangan effort. Hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya luas mangrove akan mengakibatkan turunnya level of effort pada kondisi keseimbangan. Pada akhirnya dengan turunnya effort menyebabkan turunnya harvest dari pemanfaatan sumberdaya atau turunnya harvest menyebabkan loss of gross revenues. Dengan demikian secara empiris kondisi ini bisa di-test dengan mengestimasi parameter bioekonomi (α, r dan q ) serta parameter harga dan biaya (p dan c).
Model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dengan sumberdaya perikanan seperti yang telah diuraikan diatas, merupakan model yang sering digunakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Namun, penggunaan model optimasi tersebut hanya pada asumsi-asumsi tertentu saja karena menggunakan konsep bioekonomi sebagai dasar pemodelan. Dengan demikian model optimasi tersebut tidak dapat digunakan secara general untuk mengestimasi keberlanjutan sumberdaya perikanan, hal ini karena model optimasi ini masih memiliki beberapa kekurangan atau keterbatasan/kelemahan seperti ;

1)Tidak dapat mendeteksi secara pasti eksistensi mangrove sebagai causal factor
bagi stok sumberdaya perikanan khususnya hasil tangkapan ikan.
Umumnya model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan memiliki autokorelasi yang menampilkan model regresi didasarkan pada variasi georafis dari tangkapan ikan dan luas mangrove, sehingga tidak dapat di dideteksi secara pasti apakah mangrove menjadi causal factor bagi hasil tangkapan ikan. Dengan demikian maka keterkaitan mangrove dengan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir memerlukan analisis mendalam khususnya yang terkait dengan dinamika ekosistem estuaria.

2)Net expansions dari sumberdaya perikanan hanya mempertimbangkan produktivitas
biologis dan pemanfaatan bersih dari sumberdaya perikanan.
Keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan yang ada didalamnya memerlukan suatu kajian yang multi aspek, karena pada kenyataannya keberadaan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan ditentukan bukan saja oleh faktor biologis dan ekonomi semata tetapi juga oleh faktor ekologi dan sosial. Model optimasi ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan masih terbatas pada aspek biologi dan ekonomi dalam mengestimasi net expansions dari sumberdaya perikanan.

3)Menggunakan konvensi model Gordon-Schaefer sehingga mengabaikan faktor sosial dan
ekologi (lingkungan) sebagai bagian dari model.
Model optimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan menggunakan dasar teori Gordon-Schaefer, dimana estimasi keterkaitan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan berasumsi pada penggunaan aspek biologi dan ekonomi sebagai asumsi dasar dalam melakukan estimasi keberlanjutan ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan. Dari model di atas dapat dilihat bahwa net expansions dari sumberdaya perikanan (udang) tergantung dari produktivitas biologis dan pemanfaatan bersih dari sumberdaya. Model produksi sumberdaya tetap menggunakan konvensi Gordon-Schaefer model, dimana surplus produksi biologi atau model dinamik biomassa digunakan dalam perikanan dengan asumsi harga-harga produk tetap. Dengan demikian maka model tersebut terlihat jelas bahwa asumsi biologi dan ekonomi menjadi acuan sedangkan faktor ekologi maupun sosial diabaikan.

Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan konsep-konsep yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga model optimasi diatas menggunakan asumsi bioekonomi Gordon-Schaefer, dimana estimasi sumberdaya perikanan didasarkan pada aspek biologi dan ekonomi saja, sedangkan aspek sosial tidak diperhitungkan dalam mengestimasi sumberdaya perikanan.
Dengan demikian maka model-model estimasi yang diperkenalkan diatas hanya sampai pada tahapan kedua pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana pencapaian keberlanjutan dari sumberdaya perikanan baru pada optimum biologi dan optimum ekonomi. Sedangkan optimum sosial tidak dijadikan asumsi dalam estimasi sumberdaya perikanan dari ketiga model optimasi, sehingga kegiatan penangkapan ikan yang diarahkan pada pencapaian produksi lestari yang memberikan nilai sosial tertinggi (socially optimum yield, OSY) belum dapat ditentukan oleh ketiga model optimasi tersebut.